BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.1)
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.
Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1 yang menyebutkan :
“Alat bukti yang sah ialah :
a. keterangan saksi ;
b. keterangan ahli ;
c. surat ;
d. petunjuk ;
e. keterangan terdakwa.”
Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Mengenai perlunya bantuan seorang ahli dalam memberikan keterangan yang terkait dengan kemampuan dan keahliannya untuk membantu pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana, Prof. A. Karim Nasution menyatakan :
“Meskipun pengetahuan, pendidikan dan pengalaman dari seseorang mungkin jauh lebih luas daripada orang lain, namun pengetahuan dan pengalaman setiap manusia tetap terbatas adanya. Maka oleh sebab itulah selalu ada kemungkinan bahwa ada soal-soal yang tidak dapat dipahami secukupnya oleh seorang penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan, ataupun seorang hakim di muka persidangan sehingga ia perlu diberi pertolongan oleh orang-orang yang memiliki sesuatu pengetahuan tertentu.
Agar tugas-tugas menurut hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh undang-undang diberi kemungkinan agar para penyidik dan para hakim dalam keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang berpengetahuan dan berpengalaman khusus tersebut.”2)
Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan : “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya.
Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.
Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.
Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Melihat tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan perkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan menayangkan kasus-kasus perkosaan. Sebuah Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Timur (LPA Jatim), dalam datanya mengenai tingkat kejahatan perkosaan yang terjadi pada anak, mengungkapkan bahwa kasus perkosaan anak mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan. Disebutkan dalam laporan tahunan lembaga tersebut, pada tahun 2002 kekerasan seksual pada anak mencapai 81 kasus. Pada tahun 2003 di triwulan pertama sampai bulan Maret, di Jawa Timur telah terdapat 53 anak dibawah umur yang menjadi korban perkosaan. Jumlah ini meningkat 20 % dibandingkan kasus yang terjadi pada tahun 2002. Ditengarai bahwa kasus perkosaan yang terjadi jumlahnya lebih banyak dari data yang diperoleh oleh lembaga tersebut.3)
Dari kualitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin beragamnya cara yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak perkosaan, berbagai kesempatan dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya tindak perkosaan, hubungan korban dan pelaku yang justru mempunyai kedekatan karena hubungan keluarga, tetangga, bahkan guru yang seharusnya membimbing dan mendidik, bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, serta usia korban perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi pada anak-anak.
Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut, dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan.
Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya4) .
Dalam kenyataannya, pengusutan terhadap kasus dugaan perkosaan oleh pihak Kepolisian telah menunjukkan betapa penting peran visum et repertum. Sebuah surat kabar memuat berita mengenai kasus dugaan perkosaan yang terjadi di daerah hukum Polresta Tanjung Perak Surabaya, terpaksa kasus tersebut dihentikan pengusutannya oleh pihak Kepolisian disebabkan hasil visum et repertum tidak memuat keterangan mengenai tanda terjadinya persetubuhan. Orang tua korban dengan dibantu oleh sebuah lembaga perlindungan perempuan, berupaya agar pihak Kepolisian dapat meneruskan pengusutan kasus tersebut karena menurut keterangan lisan yang disampaikan dokter pemeriksa kepada keluarga korban menyatakan bahwa selaput dara korban robek dan terjadi infeksi. Permintaan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena pihak Kepolisian mendasarkan tindakannya pada hasil visum et repertum yang menyatakan tidak terdapat luka robek atau infeksi pada alat kelamin korban. Disebutkan oleh Kapolresta Tanjung Perak Surabaya bahwa karena hasil visum dokter menyatakan selaput dara masih utuh, maka tidak ada alasan bagi polisi untuk melanjutkan pemeriksaan kasus tersebut.5)
Peranan visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan sebagaimana terjadi dalam pemberitaan surat kabar di atas, menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.
Dalam kenyataannya tidak jarang pihak Kepolisian mendapat laporan dan pengaduan terjadinya tindak pidana perkosaan yang telah berlangsung lama. Dalam kasus yang demikian barang bukti yang terkait dengan tindak pidana perkosaan tentunya dapat mengalami perubahan dan dapat kehilangan sifat pembuktiannya. Tidak hanya barang-barang bukti yang mengalami perubahan, keadaan korban juga dapat mengalami perubahan seperti telah hilangnya tanda-tanda kekerasan. Mengungkap kasus perkosaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar dapat ditemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut.
Sehubungan dengan peran visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan, pada kasus perkosaan dimana pangaduan atau laporan kepada pihak Kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana perkosaan. Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana perkosaan, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana perkosaan yang terjadi.
Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan sebagaimana terurai diatas, hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul “PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi di Kepolisian Resort Kota Malang) ”.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.1)
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.
Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1 yang menyebutkan :
“Alat bukti yang sah ialah :
a. keterangan saksi ;
b. keterangan ahli ;
c. surat ;
d. petunjuk ;
e. keterangan terdakwa.”
Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Mengenai perlunya bantuan seorang ahli dalam memberikan keterangan yang terkait dengan kemampuan dan keahliannya untuk membantu pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana, Prof. A. Karim Nasution menyatakan :
“Meskipun pengetahuan, pendidikan dan pengalaman dari seseorang mungkin jauh lebih luas daripada orang lain, namun pengetahuan dan pengalaman setiap manusia tetap terbatas adanya. Maka oleh sebab itulah selalu ada kemungkinan bahwa ada soal-soal yang tidak dapat dipahami secukupnya oleh seorang penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan, ataupun seorang hakim di muka persidangan sehingga ia perlu diberi pertolongan oleh orang-orang yang memiliki sesuatu pengetahuan tertentu.
Agar tugas-tugas menurut hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh undang-undang diberi kemungkinan agar para penyidik dan para hakim dalam keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang berpengetahuan dan berpengalaman khusus tersebut.”2)
Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan : “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya.
Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.
Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.
Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Melihat tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan perkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan menayangkan kasus-kasus perkosaan. Sebuah Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Timur (LPA Jatim), dalam datanya mengenai tingkat kejahatan perkosaan yang terjadi pada anak, mengungkapkan bahwa kasus perkosaan anak mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan. Disebutkan dalam laporan tahunan lembaga tersebut, pada tahun 2002 kekerasan seksual pada anak mencapai 81 kasus. Pada tahun 2003 di triwulan pertama sampai bulan Maret, di Jawa Timur telah terdapat 53 anak dibawah umur yang menjadi korban perkosaan. Jumlah ini meningkat 20 % dibandingkan kasus yang terjadi pada tahun 2002. Ditengarai bahwa kasus perkosaan yang terjadi jumlahnya lebih banyak dari data yang diperoleh oleh lembaga tersebut.3)
Dari kualitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin beragamnya cara yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak perkosaan, berbagai kesempatan dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya tindak perkosaan, hubungan korban dan pelaku yang justru mempunyai kedekatan karena hubungan keluarga, tetangga, bahkan guru yang seharusnya membimbing dan mendidik, bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, serta usia korban perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi pada anak-anak.
Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut, dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan.
Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya4) .
Dalam kenyataannya, pengusutan terhadap kasus dugaan perkosaan oleh pihak Kepolisian telah menunjukkan betapa penting peran visum et repertum. Sebuah surat kabar memuat berita mengenai kasus dugaan perkosaan yang terjadi di daerah hukum Polresta Tanjung Perak Surabaya, terpaksa kasus tersebut dihentikan pengusutannya oleh pihak Kepolisian disebabkan hasil visum et repertum tidak memuat keterangan mengenai tanda terjadinya persetubuhan. Orang tua korban dengan dibantu oleh sebuah lembaga perlindungan perempuan, berupaya agar pihak Kepolisian dapat meneruskan pengusutan kasus tersebut karena menurut keterangan lisan yang disampaikan dokter pemeriksa kepada keluarga korban menyatakan bahwa selaput dara korban robek dan terjadi infeksi. Permintaan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena pihak Kepolisian mendasarkan tindakannya pada hasil visum et repertum yang menyatakan tidak terdapat luka robek atau infeksi pada alat kelamin korban. Disebutkan oleh Kapolresta Tanjung Perak Surabaya bahwa karena hasil visum dokter menyatakan selaput dara masih utuh, maka tidak ada alasan bagi polisi untuk melanjutkan pemeriksaan kasus tersebut.5)
Peranan visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan sebagaimana terjadi dalam pemberitaan surat kabar di atas, menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.
Dalam kenyataannya tidak jarang pihak Kepolisian mendapat laporan dan pengaduan terjadinya tindak pidana perkosaan yang telah berlangsung lama. Dalam kasus yang demikian barang bukti yang terkait dengan tindak pidana perkosaan tentunya dapat mengalami perubahan dan dapat kehilangan sifat pembuktiannya. Tidak hanya barang-barang bukti yang mengalami perubahan, keadaan korban juga dapat mengalami perubahan seperti telah hilangnya tanda-tanda kekerasan. Mengungkap kasus perkosaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar dapat ditemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut.
Sehubungan dengan peran visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan, pada kasus perkosaan dimana pangaduan atau laporan kepada pihak Kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana perkosaan. Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana perkosaan, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana perkosaan yang terjadi.
Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan sebagaimana terurai diatas, hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul “PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi di Kepolisian Resort Kota Malang) ”.