BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peningkatan kualitas terhadap Sumber Daya Manusia sudah menjadi
keharusan untuk dapat menciptakan tenaga kerja profesional, karena semua
perusahaan menginginkan para karyawannya dapat memenuhi segala keinginan
yang diajukan oleh perusahaan. Perusahaan juga dituntut untuk dapat bekerja
secara efektif. Keefektifan dari perusahaan tidak terlepas dari keefektifan tiap
individu, karena manusia merupakan sarana utama bagi perusahaan untuk bisa
mencapai tujuan utama perusahaan.
Karyawan sebagai seorang individu tidak luput pula dari permasalahan
pribadi, individu berperilaku tidak semata-mata untuk mencapai homeostatis,
tetapi juga untuk kebutuhan yang lain, misalkan karena tingkah laku
(menyenangkan dan menegangkan). Perbedaan kebutuhan-kebutuhan tidak selalu
muncul satu persatu, tetapi kadang sering muncul secara bersama sehingga sering
menimbulkan konflik dan apabila individu atau lingkungannya tidak dapat
bertindak sesuai dengan keinginannya, maka energinya cenderung
dimanifestasikan kedalam bentuk agresi (Irwanto, 1991).
Agresi itu sendiri dapat diartikan ledakan-ledakan emosi dan kemarahan
hebat meluap-luap dalam bentuk tindakan sewenang-wenang, penyerangan,
serbuan, pemogokan, demonstrasi, pengrusakan, dan memusuhi orang lain atau
pengrusakan suatu benda (Kartono, 1994).
Perbaikan sumber daya manusia (SDM) memerlukan suasana yang
kondusif dan seminimal mungkin mengurangi hal-hal yang kontra produktif.
Faktor kontra produktif yang sering terjadi di lingkungan kita adalah tindak agresi
yang destruktif (distructive aggression). Davis (1981) mengemukakan bahwa
agresi adalah sisi yang sangat mengganggu produktivitas sebuah organisasi.
Agresivitas adalah faktor yang sangat mengganggu efisiensi kinerja organisasi;
lebih jauh akan menghambat produktivitas yang akan mengancam masa depan
perusahaan.
Dalam lingkup organisasi perusahaan di Indonesia (pra krisis ekonomi,
terlebih pada saat krisis ekonomi) telah lama banyak terjadi aksi protes, baik
melalui aksi damai maupun kerusuhan oleh karyawan yang frekuensinya cukup
tinggi dan membuat macet jalannya aktivitas perusahaan. Melalui dari penentuan
tarif UMR sampai dengan kasus PHK yang menjadi latar belakangnya. Sebagai
contoh: kerusuhan Medan, April 1994 (Tempo 30 April 1994), aksi pemogokan
buruh di Tangerang, aksi pemogokan buruh di Perusahaan Butter Fly (Kompas,
13 April 1998) aksi demo di Perusahaan Sritex Surakarta pada bulan November
1995 (dokumentasi LAPERA 1995) dan masih banyak aksi-aksi pemogokan yang
lain. Peristiwa protes ini tidak pandang bulu terjadi, mulai dari perusahaan skala
kecil, menengah maupun yang berskala besar dan bonafid. Seperti diberitakan di
Kompas (16 November 1997), ribuan pekerja IPTN (Industri Pesawat Terbang
Nasional) mengadakan aksi mogok dan unjuk rasa menuntut kenaikan upah
bahkan di Jakarta pada 2 Mei 1998 lalu, ribuan (gabungan dari beberapa
perusahaan) mengadakan aksi unjuk rasa menuntut uang pesangon PHK dan
pemberian THR yang tidak pernah ada kabarnya, tidak hanya dengan aksi demo
damai, namun juga dengan perusahaan-perusahaan yang cukup besar
mendatangkan kerugian fisik bagi perusahaan, belum lagi kerugian tak terduga
yang diderita paabrik-pabrik yang terpaksa menghentikaan proses produksinya
(Kompas, 3 Mei 1998).
Banyak pengamat mengatakan bahwa aksi agresi yang terjadi adalah
akibat kegagalan menangkap aspirasi dari bawah yang dilakukan oleh penguasa
maupun oleeh pihak elit perusahaan, sehingga menimbulkan akumulasi persepsi
negatif dari para pekerja kepada majikannya yang dapat menumbuh suburkan
potensi aksi-aksi protes daan boikot. Sarlito Wirawan, seorang ahli dibidang
psikologi sosial yang cukup tenar, mengatakan bahwa terjadinya aksi-aksi massa
yang dilakukan buruh di dalam masyarakat adalah imbas dari tidak sehatnya
sistem komunikasi di dalam suatu komunitas, antara kalangan bawah dan
kalangan atas, si pelaksana dan pengambil keputusan (dalam acara DI BALIK
BERITA, Rabu 4 Maret 1998, SCTV). Sementara itu kalangan birokrat
mendiagnosis bahwa terjadinya aksi-aksi dan berbagai kerusuhan akhir-akhir ini
adalah karena provokasi dari pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab,
alias “menuggangi” massa untuk menggalang aksi-aksi.
Komentar-komentar tersebut barangkali ada benarnya, namun terlepas dari
itu semua, agresi menjadi warna dominan yang mencolok, karena telah terbukti
bahwa dalam aksi-aksi tersebut terdapat pernyataan-pernyataan yang bernada
memprotes, menentang, mengutuk, bahkan menyerang atau merusak. Hal ini
terlihat dari poster—poster dan spanduk yang digelar oleeh para partisipan aksi
juga berbagai tayangan yang melukiskan kemarahan karyawan.
Perilaku adalah sebuah bentuk respon individu terhadap lingkungannya.
Bagaimana seorang individu berperilaku akan sangat berkaitan dengan berapa
yang dimiliki individu tersebut. Sebelum individu memutuskan untuk
memberikan respon, maka ia harus mengadakan pemaknaan atas stimulus yang
dihadapinya. Seperti diungkapkan Yale (dalam Fishbein dan Ajzen, 1975),
persepsi akan sangat bergantung pada macam stimulus yang diterima individu,
dimana hal ini menjadi pijakan dasar bagi terbentuknya sikap, intensi, dan
perilaku individu. Jadi, tindakan manusia merupakan determinan dari persepsi
yang ada dalam diri individu (Sarlito, 1992).
Berangkat dari pengertian tersebut, tidak tertutup kemungkinan bahwa
agresi juga dipengaruhi oleh macam persepsi individu terhadap lingkungannya.
Seperti diungkapkan Baron dan Byrne (1997), faktor eksternal merupakan
penyumbang yang cukup besar terhadap munculnya agresi. Faktor eksternal
dalam hal ini dapat berupa kegagalan seseorang untuk memperoleh kesenangan
karena halangan atau adanya ketidak puasan akan apa yang dialaminya, yang akan
menciptakan pengalaman negatif bagi individu yang selanjutnya akan melahirkan
perasaan frustasi (Berkowitz, 1989). Sedangkan menurut Zanden (1984), ketidak
puasan akan membuahkan perasaan tidak nyaman dan menyebabkan seseorang
menjadi tertekan dan frustasi. Perasaan akibat ketertekanan inilah yang
membentuk potensialitas agresi.
Diperlukan suatu strategi penanganan yang cermat dan terencana untuk
meminimalisir terjadinya tindak agresi destruktif. Dalam kenyataan yang terjadi,
kebijakan represi yang sering dilakukan oleh pihak stakeholder tidak pernah,
malah justru akan memupuk dendam kolektif yang akan membangkitkan tensi
agresi yang lebih tinggi. Melakukan tindak represi hanya akan menciptakan “bom
waktu” yang pasti akan meledaak. Menyelesaikan aksi agresi perlu suatu
pemecahan yang lebih hati-hati daan realistis, sehingga permasalahan selesai dan
meminimalisir kurban yang jaatuh.
Alternatif yang cukup relevan dan bijaksanaa untuk mengelola agresi
adalah dengan diadakannya dialog antara pihak-pihak yang berkonfrontasi.
Seperti saat terjadinya demonstrasi besar-besaran di IPTN, direktur yang saat itu
dijabat oleh Prof. Dr. Bj. Habibie turun langsung untuk mengadakan dialog
dengan para pekerja. Dalam dialog tersebut terjadi tukar pengertian dan akhirnya
terbentuk suatu persetujuan bersama dan kesepakatan yang dapat mengembalikan
para pekerja untuk bekerja kembali, dan aksi dapat diredamkan. Demikian juga
yang terjadi di berbagai peristiwa demonstrasi di perusahaan-perusahaan yang
lain.
Dialog seperti itu merupakan cara yang bijaksana untuk mengatasi setiap
gejolak yang terjadi karena dengan cara ini kerugian yang lebih besar akan lebih
bisa dihindari. Dalam acara dialog tersebut terjadi proses komunikasi dua arah
antara pihak-pihak yang berada dalam proses komunikasi, terjadi pertukaran
persepsi antara masing-masing pelaku komunikasi sehingga terbangun persamaan
pengertian atau setidaknya akomodasi atas perbedaan pemahaman yang terjadi.
Campbell (1988) menyebutkan sebagai peran manajerial daan peran
operasional. Peran manajerial dilaksanakan oleh pemimpin perusahaan, manajer
dan middle manager, sedaangkan peran operasional dilaksanakan oleh tenaga
kerja (worker). Keterhubungan antar berbagai peran dalam perusahaan ini
menjadikaan organisasi perusahaan sebagai sebuah sistem. Jika perna manajerial
dan operasional dapat berjalan dengan harmonis, maka perjalanan organisasi akan
dapat berjalan dengan sehat, dengan demikian produktivitas optimal lebih dapat
tercapai, dan sebaliknya jika terjadi ketimpangan, yang terjadi adalah gejolak-
gejolak yang kontra produktif, termasuk di dalamnya adalah agresi.
Hazen dan Down (dalam Beckstrom, 1980) mengemukakan bahwa salah
satu kunci untuk menciptakan iklim dan suasana kerja yang kondusif adalah
melalui pembentukan sistem komunikasi yang dapat menciptakan kepuasan.
Komunikasi kepada semua pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu sebuah
komunikasi yang dapat membuat pelaku komunikasi merasa dihargai, berperan
dan dipercaya dalam proses penyampaian informasi. Terkait dengan sistem
komunikasi di lingkungan kerja ada dua sistem komunikasi yang dibedakan
menurut arah komunikasi, yaitu sistem komunikasi satu arah (one way
communication proces) dan sistem komunikasi dua arah (two way communication
proces).
Sistem komunikasi satu arah (one way communication proces) atau sering
disebut komunikasi searah adalah suatu proses penyampaian informasi, emosi dan
perintah yang hanya bersumber dari komunikator kepada komunikan, tanpa
adanya kemungkinan respon balik (fedback) dari pihak komunikan sebagai tujuan
pesan (Johnson dan Johnson, 1991) sedangkan komunikasi dua arah (two way
communication proces) adalah suatu proses penyampaian informasi, emosi dan
perintah dari komunikator kepada komunikan, di mana dalam proses ini
dimungkinkan adanya respon balik dari komunikan.
Banyak pendapat mengatakan bahwa pola komunikasi dua arah lebih dapat
membangun suatu iklim yang kondusif dari pada pola komunikasi yang searah.
Komunikasi dua arah lebih memungkinkan terjadinya penawaran yang mengarah
pada suatu akomodasi antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi
komunikasi sehingga kepuasan komunikasi dapat dicapai tanpa menimbulkan
tekanan dan salah tafsir. Komunikasi yang didominasi oleh salah satu pihak akan
menyebabkan perasaan tidak dihargai dan tekanan emosi pada pihak yang lain,
yang dipersepsikan sebagai suatu yang tidak memuaskan. Perasaan tertekan
sebagai akibat ketidak puasan yang terjadi pada individu akan memunculkan
motivasi untuk melakukan reaksi balik, yang berupa reaksi agresi kepada individu
yang lain yang dianggaap sumber tekanan, seperti dikemukakan oleh (Baron &
Byrne, 1997)
Proses komunikasi yang resiprok, (seimbang). Terbuka dan interaktif
seperti yang terdapat dalam komunikasi dua arah akan mampu menciptakan
kepuasan komunikasi karena berbagai ketegangan daan perasaan-perasaan yang
tidak nyaman (Tjosvold dan Tjosvold, 1995)
Mengacu pada pendapat-pendapat di atas, sistem komunikasi ternyata
berpengaruh terhadap pembentukan persepsi komunikasi. Persepsi atas
komunikasi yang terlalu didominasi oleh salah satu pihak dapat mempengaruhi
terbentuknya ketidak puasan komunikasi yang memperkuat potensialitas respon
agresif pada pihak lain dan sebaliknya bahwa sistem komunikasi yang terbagi
dapat menciptakan kepuasan komunikasi yang menjadikan pengalaman positif
atas proses komunikasi yang dilakukannya. Sistem komunikasi dua arah
merupakan komunikasi yang dapat memberikan peran bagi masing-masing pelaku
komunikasi untuk melakukaan share pertukaran pendapat dan persepsi, sehingga
sistem komunikasi dua arah dianggap mampu mencegah timbulnya agresivitas.
Permasalahan yang timbul adalah apakah terdapat hubungan antara komunikasi
dua arah dengan agresivitas.
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat penulis tertarik untuk
mengkaji secara empirik dengan mengadakan penelitian berjudul: Hubungan
antara persepsi komunikasi dua arah dengan agresivitas pada karyawan Swalayan
Dedy Jaya Brebes.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peningkatan kualitas terhadap Sumber Daya Manusia sudah menjadi
keharusan untuk dapat menciptakan tenaga kerja profesional, karena semua
perusahaan menginginkan para karyawannya dapat memenuhi segala keinginan
yang diajukan oleh perusahaan. Perusahaan juga dituntut untuk dapat bekerja
secara efektif. Keefektifan dari perusahaan tidak terlepas dari keefektifan tiap
individu, karena manusia merupakan sarana utama bagi perusahaan untuk bisa
mencapai tujuan utama perusahaan.
Karyawan sebagai seorang individu tidak luput pula dari permasalahan
pribadi, individu berperilaku tidak semata-mata untuk mencapai homeostatis,
tetapi juga untuk kebutuhan yang lain, misalkan karena tingkah laku
(menyenangkan dan menegangkan). Perbedaan kebutuhan-kebutuhan tidak selalu
muncul satu persatu, tetapi kadang sering muncul secara bersama sehingga sering
menimbulkan konflik dan apabila individu atau lingkungannya tidak dapat
bertindak sesuai dengan keinginannya, maka energinya cenderung
dimanifestasikan kedalam bentuk agresi (Irwanto, 1991).
Agresi itu sendiri dapat diartikan ledakan-ledakan emosi dan kemarahan
hebat meluap-luap dalam bentuk tindakan sewenang-wenang, penyerangan,
serbuan, pemogokan, demonstrasi, pengrusakan, dan memusuhi orang lain atau
pengrusakan suatu benda (Kartono, 1994).
Perbaikan sumber daya manusia (SDM) memerlukan suasana yang
kondusif dan seminimal mungkin mengurangi hal-hal yang kontra produktif.
Faktor kontra produktif yang sering terjadi di lingkungan kita adalah tindak agresi
yang destruktif (distructive aggression). Davis (1981) mengemukakan bahwa
agresi adalah sisi yang sangat mengganggu produktivitas sebuah organisasi.
Agresivitas adalah faktor yang sangat mengganggu efisiensi kinerja organisasi;
lebih jauh akan menghambat produktivitas yang akan mengancam masa depan
perusahaan.
Dalam lingkup organisasi perusahaan di Indonesia (pra krisis ekonomi,
terlebih pada saat krisis ekonomi) telah lama banyak terjadi aksi protes, baik
melalui aksi damai maupun kerusuhan oleh karyawan yang frekuensinya cukup
tinggi dan membuat macet jalannya aktivitas perusahaan. Melalui dari penentuan
tarif UMR sampai dengan kasus PHK yang menjadi latar belakangnya. Sebagai
contoh: kerusuhan Medan, April 1994 (Tempo 30 April 1994), aksi pemogokan
buruh di Tangerang, aksi pemogokan buruh di Perusahaan Butter Fly (Kompas,
13 April 1998) aksi demo di Perusahaan Sritex Surakarta pada bulan November
1995 (dokumentasi LAPERA 1995) dan masih banyak aksi-aksi pemogokan yang
lain. Peristiwa protes ini tidak pandang bulu terjadi, mulai dari perusahaan skala
kecil, menengah maupun yang berskala besar dan bonafid. Seperti diberitakan di
Kompas (16 November 1997), ribuan pekerja IPTN (Industri Pesawat Terbang
Nasional) mengadakan aksi mogok dan unjuk rasa menuntut kenaikan upah
bahkan di Jakarta pada 2 Mei 1998 lalu, ribuan (gabungan dari beberapa
perusahaan) mengadakan aksi unjuk rasa menuntut uang pesangon PHK dan
pemberian THR yang tidak pernah ada kabarnya, tidak hanya dengan aksi demo
damai, namun juga dengan perusahaan-perusahaan yang cukup besar
mendatangkan kerugian fisik bagi perusahaan, belum lagi kerugian tak terduga
yang diderita paabrik-pabrik yang terpaksa menghentikaan proses produksinya
(Kompas, 3 Mei 1998).
Banyak pengamat mengatakan bahwa aksi agresi yang terjadi adalah
akibat kegagalan menangkap aspirasi dari bawah yang dilakukan oleh penguasa
maupun oleeh pihak elit perusahaan, sehingga menimbulkan akumulasi persepsi
negatif dari para pekerja kepada majikannya yang dapat menumbuh suburkan
potensi aksi-aksi protes daan boikot. Sarlito Wirawan, seorang ahli dibidang
psikologi sosial yang cukup tenar, mengatakan bahwa terjadinya aksi-aksi massa
yang dilakukan buruh di dalam masyarakat adalah imbas dari tidak sehatnya
sistem komunikasi di dalam suatu komunitas, antara kalangan bawah dan
kalangan atas, si pelaksana dan pengambil keputusan (dalam acara DI BALIK
BERITA, Rabu 4 Maret 1998, SCTV). Sementara itu kalangan birokrat
mendiagnosis bahwa terjadinya aksi-aksi dan berbagai kerusuhan akhir-akhir ini
adalah karena provokasi dari pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab,
alias “menuggangi” massa untuk menggalang aksi-aksi.
Komentar-komentar tersebut barangkali ada benarnya, namun terlepas dari
itu semua, agresi menjadi warna dominan yang mencolok, karena telah terbukti
bahwa dalam aksi-aksi tersebut terdapat pernyataan-pernyataan yang bernada
memprotes, menentang, mengutuk, bahkan menyerang atau merusak. Hal ini
terlihat dari poster—poster dan spanduk yang digelar oleeh para partisipan aksi
juga berbagai tayangan yang melukiskan kemarahan karyawan.
Perilaku adalah sebuah bentuk respon individu terhadap lingkungannya.
Bagaimana seorang individu berperilaku akan sangat berkaitan dengan berapa
yang dimiliki individu tersebut. Sebelum individu memutuskan untuk
memberikan respon, maka ia harus mengadakan pemaknaan atas stimulus yang
dihadapinya. Seperti diungkapkan Yale (dalam Fishbein dan Ajzen, 1975),
persepsi akan sangat bergantung pada macam stimulus yang diterima individu,
dimana hal ini menjadi pijakan dasar bagi terbentuknya sikap, intensi, dan
perilaku individu. Jadi, tindakan manusia merupakan determinan dari persepsi
yang ada dalam diri individu (Sarlito, 1992).
Berangkat dari pengertian tersebut, tidak tertutup kemungkinan bahwa
agresi juga dipengaruhi oleh macam persepsi individu terhadap lingkungannya.
Seperti diungkapkan Baron dan Byrne (1997), faktor eksternal merupakan
penyumbang yang cukup besar terhadap munculnya agresi. Faktor eksternal
dalam hal ini dapat berupa kegagalan seseorang untuk memperoleh kesenangan
karena halangan atau adanya ketidak puasan akan apa yang dialaminya, yang akan
menciptakan pengalaman negatif bagi individu yang selanjutnya akan melahirkan
perasaan frustasi (Berkowitz, 1989). Sedangkan menurut Zanden (1984), ketidak
puasan akan membuahkan perasaan tidak nyaman dan menyebabkan seseorang
menjadi tertekan dan frustasi. Perasaan akibat ketertekanan inilah yang
membentuk potensialitas agresi.
Diperlukan suatu strategi penanganan yang cermat dan terencana untuk
meminimalisir terjadinya tindak agresi destruktif. Dalam kenyataan yang terjadi,
kebijakan represi yang sering dilakukan oleh pihak stakeholder tidak pernah,
malah justru akan memupuk dendam kolektif yang akan membangkitkan tensi
agresi yang lebih tinggi. Melakukan tindak represi hanya akan menciptakan “bom
waktu” yang pasti akan meledaak. Menyelesaikan aksi agresi perlu suatu
pemecahan yang lebih hati-hati daan realistis, sehingga permasalahan selesai dan
meminimalisir kurban yang jaatuh.
Alternatif yang cukup relevan dan bijaksanaa untuk mengelola agresi
adalah dengan diadakannya dialog antara pihak-pihak yang berkonfrontasi.
Seperti saat terjadinya demonstrasi besar-besaran di IPTN, direktur yang saat itu
dijabat oleh Prof. Dr. Bj. Habibie turun langsung untuk mengadakan dialog
dengan para pekerja. Dalam dialog tersebut terjadi tukar pengertian dan akhirnya
terbentuk suatu persetujuan bersama dan kesepakatan yang dapat mengembalikan
para pekerja untuk bekerja kembali, dan aksi dapat diredamkan. Demikian juga
yang terjadi di berbagai peristiwa demonstrasi di perusahaan-perusahaan yang
lain.
Dialog seperti itu merupakan cara yang bijaksana untuk mengatasi setiap
gejolak yang terjadi karena dengan cara ini kerugian yang lebih besar akan lebih
bisa dihindari. Dalam acara dialog tersebut terjadi proses komunikasi dua arah
antara pihak-pihak yang berada dalam proses komunikasi, terjadi pertukaran
persepsi antara masing-masing pelaku komunikasi sehingga terbangun persamaan
pengertian atau setidaknya akomodasi atas perbedaan pemahaman yang terjadi.
Campbell (1988) menyebutkan sebagai peran manajerial daan peran
operasional. Peran manajerial dilaksanakan oleh pemimpin perusahaan, manajer
dan middle manager, sedaangkan peran operasional dilaksanakan oleh tenaga
kerja (worker). Keterhubungan antar berbagai peran dalam perusahaan ini
menjadikaan organisasi perusahaan sebagai sebuah sistem. Jika perna manajerial
dan operasional dapat berjalan dengan harmonis, maka perjalanan organisasi akan
dapat berjalan dengan sehat, dengan demikian produktivitas optimal lebih dapat
tercapai, dan sebaliknya jika terjadi ketimpangan, yang terjadi adalah gejolak-
gejolak yang kontra produktif, termasuk di dalamnya adalah agresi.
Hazen dan Down (dalam Beckstrom, 1980) mengemukakan bahwa salah
satu kunci untuk menciptakan iklim dan suasana kerja yang kondusif adalah
melalui pembentukan sistem komunikasi yang dapat menciptakan kepuasan.
Komunikasi kepada semua pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu sebuah
komunikasi yang dapat membuat pelaku komunikasi merasa dihargai, berperan
dan dipercaya dalam proses penyampaian informasi. Terkait dengan sistem
komunikasi di lingkungan kerja ada dua sistem komunikasi yang dibedakan
menurut arah komunikasi, yaitu sistem komunikasi satu arah (one way
communication proces) dan sistem komunikasi dua arah (two way communication
proces).
Sistem komunikasi satu arah (one way communication proces) atau sering
disebut komunikasi searah adalah suatu proses penyampaian informasi, emosi dan
perintah yang hanya bersumber dari komunikator kepada komunikan, tanpa
adanya kemungkinan respon balik (fedback) dari pihak komunikan sebagai tujuan
pesan (Johnson dan Johnson, 1991) sedangkan komunikasi dua arah (two way
communication proces) adalah suatu proses penyampaian informasi, emosi dan
perintah dari komunikator kepada komunikan, di mana dalam proses ini
dimungkinkan adanya respon balik dari komunikan.
Banyak pendapat mengatakan bahwa pola komunikasi dua arah lebih dapat
membangun suatu iklim yang kondusif dari pada pola komunikasi yang searah.
Komunikasi dua arah lebih memungkinkan terjadinya penawaran yang mengarah
pada suatu akomodasi antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi
komunikasi sehingga kepuasan komunikasi dapat dicapai tanpa menimbulkan
tekanan dan salah tafsir. Komunikasi yang didominasi oleh salah satu pihak akan
menyebabkan perasaan tidak dihargai dan tekanan emosi pada pihak yang lain,
yang dipersepsikan sebagai suatu yang tidak memuaskan. Perasaan tertekan
sebagai akibat ketidak puasan yang terjadi pada individu akan memunculkan
motivasi untuk melakukan reaksi balik, yang berupa reaksi agresi kepada individu
yang lain yang dianggaap sumber tekanan, seperti dikemukakan oleh (Baron &
Byrne, 1997)
Proses komunikasi yang resiprok, (seimbang). Terbuka dan interaktif
seperti yang terdapat dalam komunikasi dua arah akan mampu menciptakan
kepuasan komunikasi karena berbagai ketegangan daan perasaan-perasaan yang
tidak nyaman (Tjosvold dan Tjosvold, 1995)
Mengacu pada pendapat-pendapat di atas, sistem komunikasi ternyata
berpengaruh terhadap pembentukan persepsi komunikasi. Persepsi atas
komunikasi yang terlalu didominasi oleh salah satu pihak dapat mempengaruhi
terbentuknya ketidak puasan komunikasi yang memperkuat potensialitas respon
agresif pada pihak lain dan sebaliknya bahwa sistem komunikasi yang terbagi
dapat menciptakan kepuasan komunikasi yang menjadikan pengalaman positif
atas proses komunikasi yang dilakukannya. Sistem komunikasi dua arah
merupakan komunikasi yang dapat memberikan peran bagi masing-masing pelaku
komunikasi untuk melakukaan share pertukaran pendapat dan persepsi, sehingga
sistem komunikasi dua arah dianggap mampu mencegah timbulnya agresivitas.
Permasalahan yang timbul adalah apakah terdapat hubungan antara komunikasi
dua arah dengan agresivitas.
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat penulis tertarik untuk
mengkaji secara empirik dengan mengadakan penelitian berjudul: Hubungan
antara persepsi komunikasi dua arah dengan agresivitas pada karyawan Swalayan
Dedy Jaya Brebes.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk