BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hand phone atau telepon seluler ini sendiri sebenarnya baru mulai
merebak sekitar pertengahan tahun 1990(Fidler, 1997). Dahulu orang tidak pernah
membayangkan akan berkomunikasi dengan benda sekecil ini dan bisa
berkomunikasi dengan individu lain yang berada jauh dan berada dikampung
semudah dan semurah orang makan nasi di warung tegal, dimana orang bisa
berkomunikasi dimana saja dan kapan saja.
Hand phone atau telepon seluler pada masa sekarang ini sudah bukan
merupakan barang yang aneh atau mewah lagi, bahkan hand phone pada saat
sekarang ini mungkin adalah salah satu barang yang paling populer dimasyarakat,
hanpir tiap orang mengenal dan mempunyai hand phone, dari anak kecil sampai
orang tua, baik di desa maupun di kota, sudah memiliki hand phone. Hand phone
sendiri pada awalnya adalah suatu tuntutan masyarakat atas pentingnya
komunikasi, masyarakat banyak beranggap bahwa dengan memiliki hand phone
mereka lebih bisa mudah berkomunikasi, seperti yang diungkap salah satu
mahasiswa Ekonomi akuntansi pada salah satu perguruan tinggi negeri di
Surakarta“dalam sehari saja saya tidak memegang hand phone saya sudah seperti
kembali kemasa primitif yang semuanya serba jauh dan susah untuk dihubungi”.
Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa hand phone telah banyak
dimiliki oleh banyak orang yaitu hasil angket yang telah disebarkan oleh penulis
1
2
pada seratus mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Surakarta yaitu
hanya empat orang yang tidak memiliki hand phone. Selain itu hand phone sudah
dianggap sangat penting bagi beberapa orang sehingga hand phone menjadi
kebutuhan pokok, beberapa orang beranggapan bahwa mereka tidak bisa hidup
tanpa hand phone, seperti yang diungkap Smile salah satu akademia (Akademi
Fantasi Indosiar) AFI 1 (tabloid jelita, edisi 7-13 Februari, 2004) dia berkata” baru
saat ini saya tidak menggunakan hand phone selama lebih dari 2 bulan, pada hal
saya termasuk orang yang paling tidak bisa hidup tanpa hand phone, bahkan saya
sampai membawa hand phone ketika saya dikamar mandi”.
Hand phone sebagai salah satu alat komunikasi yang paling digemari di
masyarakat merupakan sasaran empuk bagi dunia industri ini terlihat semakin
banyaknya hand phone yang diproduksi tiap bulannya, (majalah HP, edisi bulan
oktober dan november, 2003), bahwa dalam setahun ini produsen hand phone
Nokia ditahun 2003 ini sudah mengeluarkan sebanyak 20 jenis hand phone, yang
kesemuanya sudah dilempar kepasaran, hand phone yang diproduksi ini banyak
macamnya mulai dari yang LCD monocrome hingga LCD yang berwarna yang
dilengkapi fasilitas kamera, radio musik, GPRS, hingga yang paling baru ini
adalah game 3 dimensi yang mempunyai kualitas gambar menyamai video game
yang terbaru.
Keinginan masyarakat dalam membeli hand phone mulai berubah dahulu
masyarakat membeli hand phone karena bisa dibawa kemana-mana, bisa
berkomunikasi dimanapun dan kapanpun sudah mulai bergeser, sekarang orang
3
membeli hand phone tidak melihat fungsi hand phone itu sendiri tapi lebih ke
teknologinya atau fitur yang ditawarkan oleh pabrikan hand phone tersebut
seperti, pilihan LCD monocrome atau berwarna, variasi dari game yang
ditawarkan bagus atau tidak, mempunyai fasilitas mengakses internet atau tidak,
dilengkapi dengan kamera atau tidak, ukurannya besar atau kecil, fashionable atau
tidak, dan gaul / mengikuti perkembangan jaman atau tidak. Mereka sudah tidak
mempertimbangkan masalah kualitas kejernihan suara, kuat lemahnya sinyal yang
notabene sangat mempengaruhi proses komunikasi itu sendiri.
Banyak orang membeli hand phone melihat jenis hand phone yang sedang
in
atau paling banyak disukai orang banyak, orang membeli hand phone banyak
yang mengejar gengsi dan fashion. Seperti yang dikatakan mahasiswa salah satu
perguruan tinggi swasta di Surakarta, dia sangat ingin mengganti hand phone dari
hand phone Siemens seri M55 menjadi Siemens seri SL 65 karena dia
beranggapan bahwa hand phone seri M55 tersebut sudah ketinggalan jaman
karena hand phone tersebut LCD-nya masih monocrome, jenis deringnya belum
poliponik, belum ada kameranya sedangkan di tempat pergaulannya rata-rata
sudah memakai hand phone yang mempunyai LCD berwarna, deringnya sudah
poliponik dan dilengkapi kamera, karena itu dia merasa ketinggalan jaman dan
tidak mengkuti mode, untuk mengganti hand phone tersebut dia rela hutang pada
temannya, bahkan dia sampai rela tidak menerima uang saku selama 1 bulan
sehingga orang tuanya mau menambahkan kekurangan untuk mengganti hand
phone yang dia inginkan. Hal ini tidak terjadi pada satu orang teman penulis, dia
4
dalam 1 tahun ini sudah mengganti hand phonenya sebanyak 4 kali, alasan dia
mengganti hand phone bukan karena rusak tapi karena dia senang dengan model
hand phone tersebut karena menurut dia dengan hand phone tersebut dia akan
kelihatan lebih modis dan lebih modern diantara teman-temannya.
Pendapat yang sama diungkap oleh produsen hand phone Siemens, dimana
produsen hand phone ini mengeluarkan hand phone yang bukan lagi berbasis pada
komunikasi tapi pada mode, seperti yang dikatakan manager pemasaran siemens
untuk Indonesia (majalah Digicom, edisi oktober, 2003), bahwa Siemens
mengeluarkan hand phone produk baru karena banyaknya permintaan atas hand
phone yang punya fiture fashion.
Pendapat yang serupa juga diungkap Putu wijaya, “bahwa hand phone
sekarang ini sudah menjadi tren dan salah satu bagian dari fashion, dimana orang
sudah bersaing untuk memiliki hand phone dengan jenis dan mode yang paling up
to date”. (Suara Merdeka, 18 Mei 2003).
Budaya dimana hand phone bukan menjadi sebuah alat komunikasi tapi
menunjukkan indikasi kearah tren ini menimbulkan pertanyaan besar, sudah
sejauhmana hand phone menjadi budaya tren atau budaya masal atau seperti yang
diungkap Hidayat (dalam Lubang Hitam Kebudayan, 2003) bahwa budaya massa
juga disebut sebagai budaya populer dimana sesuatu disenangi oleh banyak orang
atau masa, dan menimbulkan sebuah booming atau wabah.
Toko hand phone atau yang lebih sering disebut counter hand phone
sudah bisa di temui di hampir tiap sudut jalan di Solo, dari jalan protokol sampai
5
ke pasar tradisional. Ini terbukti di pasar Nongko tercatat ada 2 counter hand
phone dan salah satunya sangat terkenal di Solo, selain itu di pusat perbelanjaan
manapun pasti yang namanya counter hand phone tidak pernah absen, dari Luwes
sampai Singosaren plasa, bahkan di Singosaren plasa dan Alfa Pabelan punya
tempat khusus untuk orang menjual hand phone, di Singsaren Plasa dilantai 1 dan
lantai 3 dimana rata – rata dalam satu lorong terdapat lebih 10 dari counter hand
phone, sedangkan di Alfa Pabelan counter hand phone berada dilantai 2 disana
terdapat 15 counter hand phone. Kabar terbaru yang didapat dari bagian
pemasaran untuk Solo Grand Mall yang rencananya akan dibuka sekitar bulan
Oktober dimana lantai 3 akan dikhususkan untuk hand phone, kapasitas lantai
tersebut dapat menampung lebih dari 50 counter hand phone besar. Counter hand
phone sudah masuk ke desa yang nota bene masih kurang untuk penerimaan
sinyal, penulis menjumpai satu counter hand phone di daerah Simo Boyolali yang
letaknya diantara bukit-bukit. Hal ini menjadi salah satu bukti nyata bahwa
distribusi hand phone sudah dilakukan secara massal atau besar-besaran.
Pengenalan terhadap hand phone juga dilakukan secara besar-besaran baik
yang dilakukan dengan iklan maupun lewat film, untuk iklan ditiap media cetak
pasti ada iklan hand phone baik yang berupa info harga maupun perkenalan
produk dari sebuah hand phone, sedangkan untuk media elektronik yaitu televisi
dalam sehari pasti ada iklan hand phone ataupun segala sesuatu yang
berhubungan erat dengan hand phone, tercatat disetiap stasiun televisi tidak
kurang dari 5 kali penanyangan untuk iklan hand phone ataupun yang
6
berhubungan dengan hand phone muncul dilayar televisi, selain itu masuh banyak
acara yang menampilkan hand phone ataupun yang berhubungan sebagai ikon
atau sponsor dalam acara tersebut, contohnya pada acara Indonesian Idol, pada
proses audisinya ataupun konser eliminasi Mobile 8 menjadi salah satu sponsor
utamanya dan pasti ada gambar orang yang sedang menelpon dengan
menggunakan hand phone, selain itu pada sinetron Ada Apa Dengan Cinta yang
ditayangkan di RCTI pada hari Minggu pukul 20.00 wib selalu menampilkan
pemeran utamanya dengan hand phone Nokia 3650.
Melihat begitu gencarnya masuknya budaya populer dalam hal ini hand
phone pada masyarakat kita, kemudian bagaimana nasib orang yang tidak bisa
memiliki hand phone, hal ini pasti akan memunculkan sebuah masalah. Masalah
yang timbul karena adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa
yang didapat atau dipunyai. Adanya kesenjangan antara apa yang dimilikinya
dengan apa yang diinginkannya (wanting) serta apa yang dimilikinya dengan apa
yang pantas didapatkannya dan hal ini biasa disebut deprivasi relatif (Crosby,
dalam Wulan, 2002).
Ted. R. Gurr (Faturochman, 2003) menamakan deprivasi relatif yaitu
suatu keadaan dimana terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Kesenjangan yang menyebabkan deprivasi relatif bisa terjadi jika kenyataan tetap
tidak berubah tetapi harapan melonjak. Hal ini bisa terjadi jika individu terus
menerus melihat perkembangan hand phone baik itu jenis ataupun betapa
populernya hand phone sedangkan individu tersebut tidak bisa mengikuti pastilah
7
ada sebuah gejolak yang terjadi didalam diri individu tersebut, ditambah lagi jika
dari sisi usia atau kematangan individu tersebut sudah pantas untuk memiliki hand
phone tetapi pada kenyataannya tidak mampu dan individu tersebut dikalahkan
oleh individu yang belum pantas memiliki hand phone.
Berdasarkan beberapa uraian latar belakang masalah diatas maka peneliti
merumuskan masalah sebuah masalah penelitian bagaimana deprivasi relatif pada
individu yang tidak memiliki hand phone yang merupakan akibat dari hand phone
sebagai budaya populer.
Guna menjawab permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengadakan suatu penelitian yang berjudul “ Deprivasi Relatif: Dampak Hand
Phone Sebagai Budaya Populer”.
B. Keaslian penelitian
Penelitian ini masih bersifat asli dan bukan replikasi, untuk penelitian
tentang deprivasi relatif sebagai dampak dari hand phone sebagai budaya populer
sepengetahuan penulis belum pernah ada yang melakukan, baik yang berupa
skripsi ataupun dalam bentuk jurnal, sehingga penelitian ini tergolong baru dalam
dunia psikologi sosial, tetapi untuk penelitian yang menggunakan deprivasi relatif
sebagai aspek penelitian telah dilakukan oleh Imanti (2004) dengan judul
“hubungan antara deprivasi relatif dan kecenderungan somatisasi terhadap
pembentukan identitas diri pada anak yatim piatu di panti asuhan..” Hasil
penelitian menyatakan bahwa Ada hubungan antara deprivasi relatif dan
kecenderungan somatisasi terhadap pembentukan identitas diri pada anak yatim,
8
piatu, yatim piatu atau tidak mampu yang tinggal di panti asuhan di kota
Pemalang. Penelitian lain dilakukan oleh Wulan (2002) dengan judul” Perbedaan
Deprivasi Relatif Flaternal Antara Etnis Cina dan Etnis Jawa di Kelurahan
Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta..” Hasil penelitian ini
mengungkap bahwa adanya Perbedaan Deprivasi Relatif Flaternal Antara Etnis
Cina dan Etnis Jawa di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota
Surakarta..
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hand phone atau telepon seluler ini sendiri sebenarnya baru mulai
merebak sekitar pertengahan tahun 1990(Fidler, 1997). Dahulu orang tidak pernah
membayangkan akan berkomunikasi dengan benda sekecil ini dan bisa
berkomunikasi dengan individu lain yang berada jauh dan berada dikampung
semudah dan semurah orang makan nasi di warung tegal, dimana orang bisa
berkomunikasi dimana saja dan kapan saja.
Hand phone atau telepon seluler pada masa sekarang ini sudah bukan
merupakan barang yang aneh atau mewah lagi, bahkan hand phone pada saat
sekarang ini mungkin adalah salah satu barang yang paling populer dimasyarakat,
hanpir tiap orang mengenal dan mempunyai hand phone, dari anak kecil sampai
orang tua, baik di desa maupun di kota, sudah memiliki hand phone. Hand phone
sendiri pada awalnya adalah suatu tuntutan masyarakat atas pentingnya
komunikasi, masyarakat banyak beranggap bahwa dengan memiliki hand phone
mereka lebih bisa mudah berkomunikasi, seperti yang diungkap salah satu
mahasiswa Ekonomi akuntansi pada salah satu perguruan tinggi negeri di
Surakarta“dalam sehari saja saya tidak memegang hand phone saya sudah seperti
kembali kemasa primitif yang semuanya serba jauh dan susah untuk dihubungi”.
Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa hand phone telah banyak
dimiliki oleh banyak orang yaitu hasil angket yang telah disebarkan oleh penulis
1
2
pada seratus mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Surakarta yaitu
hanya empat orang yang tidak memiliki hand phone. Selain itu hand phone sudah
dianggap sangat penting bagi beberapa orang sehingga hand phone menjadi
kebutuhan pokok, beberapa orang beranggapan bahwa mereka tidak bisa hidup
tanpa hand phone, seperti yang diungkap Smile salah satu akademia (Akademi
Fantasi Indosiar) AFI 1 (tabloid jelita, edisi 7-13 Februari, 2004) dia berkata” baru
saat ini saya tidak menggunakan hand phone selama lebih dari 2 bulan, pada hal
saya termasuk orang yang paling tidak bisa hidup tanpa hand phone, bahkan saya
sampai membawa hand phone ketika saya dikamar mandi”.
Hand phone sebagai salah satu alat komunikasi yang paling digemari di
masyarakat merupakan sasaran empuk bagi dunia industri ini terlihat semakin
banyaknya hand phone yang diproduksi tiap bulannya, (majalah HP, edisi bulan
oktober dan november, 2003), bahwa dalam setahun ini produsen hand phone
Nokia ditahun 2003 ini sudah mengeluarkan sebanyak 20 jenis hand phone, yang
kesemuanya sudah dilempar kepasaran, hand phone yang diproduksi ini banyak
macamnya mulai dari yang LCD monocrome hingga LCD yang berwarna yang
dilengkapi fasilitas kamera, radio musik, GPRS, hingga yang paling baru ini
adalah game 3 dimensi yang mempunyai kualitas gambar menyamai video game
yang terbaru.
Keinginan masyarakat dalam membeli hand phone mulai berubah dahulu
masyarakat membeli hand phone karena bisa dibawa kemana-mana, bisa
berkomunikasi dimanapun dan kapanpun sudah mulai bergeser, sekarang orang
3
membeli hand phone tidak melihat fungsi hand phone itu sendiri tapi lebih ke
teknologinya atau fitur yang ditawarkan oleh pabrikan hand phone tersebut
seperti, pilihan LCD monocrome atau berwarna, variasi dari game yang
ditawarkan bagus atau tidak, mempunyai fasilitas mengakses internet atau tidak,
dilengkapi dengan kamera atau tidak, ukurannya besar atau kecil, fashionable atau
tidak, dan gaul / mengikuti perkembangan jaman atau tidak. Mereka sudah tidak
mempertimbangkan masalah kualitas kejernihan suara, kuat lemahnya sinyal yang
notabene sangat mempengaruhi proses komunikasi itu sendiri.
Banyak orang membeli hand phone melihat jenis hand phone yang sedang
in
atau paling banyak disukai orang banyak, orang membeli hand phone banyak
yang mengejar gengsi dan fashion. Seperti yang dikatakan mahasiswa salah satu
perguruan tinggi swasta di Surakarta, dia sangat ingin mengganti hand phone dari
hand phone Siemens seri M55 menjadi Siemens seri SL 65 karena dia
beranggapan bahwa hand phone seri M55 tersebut sudah ketinggalan jaman
karena hand phone tersebut LCD-nya masih monocrome, jenis deringnya belum
poliponik, belum ada kameranya sedangkan di tempat pergaulannya rata-rata
sudah memakai hand phone yang mempunyai LCD berwarna, deringnya sudah
poliponik dan dilengkapi kamera, karena itu dia merasa ketinggalan jaman dan
tidak mengkuti mode, untuk mengganti hand phone tersebut dia rela hutang pada
temannya, bahkan dia sampai rela tidak menerima uang saku selama 1 bulan
sehingga orang tuanya mau menambahkan kekurangan untuk mengganti hand
phone yang dia inginkan. Hal ini tidak terjadi pada satu orang teman penulis, dia
4
dalam 1 tahun ini sudah mengganti hand phonenya sebanyak 4 kali, alasan dia
mengganti hand phone bukan karena rusak tapi karena dia senang dengan model
hand phone tersebut karena menurut dia dengan hand phone tersebut dia akan
kelihatan lebih modis dan lebih modern diantara teman-temannya.
Pendapat yang sama diungkap oleh produsen hand phone Siemens, dimana
produsen hand phone ini mengeluarkan hand phone yang bukan lagi berbasis pada
komunikasi tapi pada mode, seperti yang dikatakan manager pemasaran siemens
untuk Indonesia (majalah Digicom, edisi oktober, 2003), bahwa Siemens
mengeluarkan hand phone produk baru karena banyaknya permintaan atas hand
phone yang punya fiture fashion.
Pendapat yang serupa juga diungkap Putu wijaya, “bahwa hand phone
sekarang ini sudah menjadi tren dan salah satu bagian dari fashion, dimana orang
sudah bersaing untuk memiliki hand phone dengan jenis dan mode yang paling up
to date”. (Suara Merdeka, 18 Mei 2003).
Budaya dimana hand phone bukan menjadi sebuah alat komunikasi tapi
menunjukkan indikasi kearah tren ini menimbulkan pertanyaan besar, sudah
sejauhmana hand phone menjadi budaya tren atau budaya masal atau seperti yang
diungkap Hidayat (dalam Lubang Hitam Kebudayan, 2003) bahwa budaya massa
juga disebut sebagai budaya populer dimana sesuatu disenangi oleh banyak orang
atau masa, dan menimbulkan sebuah booming atau wabah.
Toko hand phone atau yang lebih sering disebut counter hand phone
sudah bisa di temui di hampir tiap sudut jalan di Solo, dari jalan protokol sampai
5
ke pasar tradisional. Ini terbukti di pasar Nongko tercatat ada 2 counter hand
phone dan salah satunya sangat terkenal di Solo, selain itu di pusat perbelanjaan
manapun pasti yang namanya counter hand phone tidak pernah absen, dari Luwes
sampai Singosaren plasa, bahkan di Singosaren plasa dan Alfa Pabelan punya
tempat khusus untuk orang menjual hand phone, di Singsaren Plasa dilantai 1 dan
lantai 3 dimana rata – rata dalam satu lorong terdapat lebih 10 dari counter hand
phone, sedangkan di Alfa Pabelan counter hand phone berada dilantai 2 disana
terdapat 15 counter hand phone. Kabar terbaru yang didapat dari bagian
pemasaran untuk Solo Grand Mall yang rencananya akan dibuka sekitar bulan
Oktober dimana lantai 3 akan dikhususkan untuk hand phone, kapasitas lantai
tersebut dapat menampung lebih dari 50 counter hand phone besar. Counter hand
phone sudah masuk ke desa yang nota bene masih kurang untuk penerimaan
sinyal, penulis menjumpai satu counter hand phone di daerah Simo Boyolali yang
letaknya diantara bukit-bukit. Hal ini menjadi salah satu bukti nyata bahwa
distribusi hand phone sudah dilakukan secara massal atau besar-besaran.
Pengenalan terhadap hand phone juga dilakukan secara besar-besaran baik
yang dilakukan dengan iklan maupun lewat film, untuk iklan ditiap media cetak
pasti ada iklan hand phone baik yang berupa info harga maupun perkenalan
produk dari sebuah hand phone, sedangkan untuk media elektronik yaitu televisi
dalam sehari pasti ada iklan hand phone ataupun segala sesuatu yang
berhubungan erat dengan hand phone, tercatat disetiap stasiun televisi tidak
kurang dari 5 kali penanyangan untuk iklan hand phone ataupun yang
6
berhubungan dengan hand phone muncul dilayar televisi, selain itu masuh banyak
acara yang menampilkan hand phone ataupun yang berhubungan sebagai ikon
atau sponsor dalam acara tersebut, contohnya pada acara Indonesian Idol, pada
proses audisinya ataupun konser eliminasi Mobile 8 menjadi salah satu sponsor
utamanya dan pasti ada gambar orang yang sedang menelpon dengan
menggunakan hand phone, selain itu pada sinetron Ada Apa Dengan Cinta yang
ditayangkan di RCTI pada hari Minggu pukul 20.00 wib selalu menampilkan
pemeran utamanya dengan hand phone Nokia 3650.
Melihat begitu gencarnya masuknya budaya populer dalam hal ini hand
phone pada masyarakat kita, kemudian bagaimana nasib orang yang tidak bisa
memiliki hand phone, hal ini pasti akan memunculkan sebuah masalah. Masalah
yang timbul karena adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa
yang didapat atau dipunyai. Adanya kesenjangan antara apa yang dimilikinya
dengan apa yang diinginkannya (wanting) serta apa yang dimilikinya dengan apa
yang pantas didapatkannya dan hal ini biasa disebut deprivasi relatif (Crosby,
dalam Wulan, 2002).
Ted. R. Gurr (Faturochman, 2003) menamakan deprivasi relatif yaitu
suatu keadaan dimana terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Kesenjangan yang menyebabkan deprivasi relatif bisa terjadi jika kenyataan tetap
tidak berubah tetapi harapan melonjak. Hal ini bisa terjadi jika individu terus
menerus melihat perkembangan hand phone baik itu jenis ataupun betapa
populernya hand phone sedangkan individu tersebut tidak bisa mengikuti pastilah
7
ada sebuah gejolak yang terjadi didalam diri individu tersebut, ditambah lagi jika
dari sisi usia atau kematangan individu tersebut sudah pantas untuk memiliki hand
phone tetapi pada kenyataannya tidak mampu dan individu tersebut dikalahkan
oleh individu yang belum pantas memiliki hand phone.
Berdasarkan beberapa uraian latar belakang masalah diatas maka peneliti
merumuskan masalah sebuah masalah penelitian bagaimana deprivasi relatif pada
individu yang tidak memiliki hand phone yang merupakan akibat dari hand phone
sebagai budaya populer.
Guna menjawab permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengadakan suatu penelitian yang berjudul “ Deprivasi Relatif: Dampak Hand
Phone Sebagai Budaya Populer”.
B. Keaslian penelitian
Penelitian ini masih bersifat asli dan bukan replikasi, untuk penelitian
tentang deprivasi relatif sebagai dampak dari hand phone sebagai budaya populer
sepengetahuan penulis belum pernah ada yang melakukan, baik yang berupa
skripsi ataupun dalam bentuk jurnal, sehingga penelitian ini tergolong baru dalam
dunia psikologi sosial, tetapi untuk penelitian yang menggunakan deprivasi relatif
sebagai aspek penelitian telah dilakukan oleh Imanti (2004) dengan judul
“hubungan antara deprivasi relatif dan kecenderungan somatisasi terhadap
pembentukan identitas diri pada anak yatim piatu di panti asuhan..” Hasil
penelitian menyatakan bahwa Ada hubungan antara deprivasi relatif dan
kecenderungan somatisasi terhadap pembentukan identitas diri pada anak yatim,
8
piatu, yatim piatu atau tidak mampu yang tinggal di panti asuhan di kota
Pemalang. Penelitian lain dilakukan oleh Wulan (2002) dengan judul” Perbedaan
Deprivasi Relatif Flaternal Antara Etnis Cina dan Etnis Jawa di Kelurahan
Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta..” Hasil penelitian ini
mengungkap bahwa adanya Perbedaan Deprivasi Relatif Flaternal Antara Etnis
Cina dan Etnis Jawa di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota
Surakarta..
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :