BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepanjang dialektika manusia dalam masalah ilmu pengetahuan setelah renaissance, epistemologi selalu menjadi bahan diskusi, sekaligus bahan perdebatan yang tidak pernah habis. Rasionalisme yang memandang pengalaman inderawi hanya sebagai sejenis perangsang bagi pikiran, kemudian direspon oleh empirisme yang balik mengatakan bahwa akal hanya sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan. Walaupun tidak sama sekali mengingkari peran akal maupun indera, pada intinya keduanya tetap berdebat masalah sumber pengetahuan. Rasionalisme dan empirisme kemudian mendapat respon dari Immanuel Kant dengan pengakuannya bahwa akal dan indera adalah sumber ilmu pengetahuan.
Perdebatan-perdebatan epistemologi tersebut tidak berakhir pada satu tahap atau didamaikan oleh aliran tertentu, karena ia tidak hanya berbicara masalah sumber, tetapi juga metode dan struktur (pola pikir tokoh atau aliran). Metode untuk menjadikan pengetahuan sebagai ilmu memuat syarat-syarat yang berfungsi menguji keabsahan ilmu. Syarat-syarat itu adalah bahan perdebatan yang menambah masalah epistemologi tidak pernah tuntas. Richard Rorty, yang pemikirannya diulas oleh I. Bambang Sugiharto adalah salah satu tokoh yang menyerang epistemologi dari sisi metode. Ia mengkritik bahwa metode rasionalisme adalah bentuk keanehan. Menurut rasionalisme, ilmu harus selalu merupakan persesuaian persis antara akal dan kenyataan luar. Untuk mencapai persesuaian, rasionalisme mengharuskan adanya refleksi yang mengkaji pendapat-pendapat yang dilakukan oleh akal sendiri. Pendapat-pendapat ditata secara betul sesuai dengan hubungan-hubungan yang jelas dan tegas. Seluruh prosedur tersebut dilakukan oleh akal. Artinya, keabsahan ilmu didasarkan pada akal. Otoritas akal itulah yang justru menjadikan upaya persesuaian pengetahuan antara akal dan kenyataan luar tidak tercapai. Subjektivitas adalah penentu sahihnya ilmu. Oleh karena itu, wajar jika empirisme mempermasalahkan subjektivitas rasionalisme.
Epistemologi adalah pemegang wewenang atas keabsahan ilmu. Pada waktu yang sama, wewenang epistemologi adalah “kekangan” bagi semua ilmu. Semua ilmu harus tunduk dan patuh terhadap epistemologi agar mendapat predikat sah. Dan konsekuensi terbesar bagi ilmu yang tidak patuh adalah claim ketidaksahihan. Konsekuensi tersebut berlaku bagi semua ilmu, tidak terkecuali psikologi.
August Comte tidak mengakui psikologi sebagai cabang ilmu, karena kajiannya adalah pengalaman batiniah, tidak dapat diindera, atau tidak terbukti (non-evident). Dari sisi sumber maupun metode, psikologi dikatakan tidak memiliki kesahihan. Tentu saja redikat tersebut menimbulkan “kegerahan” beberapa ilmuwan yang disebut ilmuwan psikologi. Johan Friedrich Herbart (1776-1841) kontan menulis A Texbook of Psychology dan Psychology is Science yang menegaskan bahwa psikologi adalah ilmu. Sayangnya, Herbart terjebak oleh tulisannya sendiri. Ia tetap tidak membantu psikologi menjadi diakui sebagai ilmu karena tidak pernah melakukan penelitian ilmiah, melainkan hanya spekulasi-spekulasi. Herbart gugur sebagai “bapak psikologi” sebab tidak mematuhi syarat-syarat ilmu pengetahuan. Psikologi baru diakui setelah Wilhelm Wund mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig, Jerman. Psikologi diakui sebagai ilmu karena memiliki laboratorium yang berfungsi mengukur fenomena-fenomena psikologis tidak tampak menjadi tampak. Jadi, psikologi mengembangkan pengukuran-pengukuran terhadap fenomena-fenomena psikologi agar mendapat predikat ilmu.
Jika psikologi pernah tidak diakui sebagai ilmu karena kuasa epistemologi, bagaimana dengan psikoanalisis. Jawabannya adalah tidak jauh berbeda dengan psikologi. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis hidup di masa August Comte (1798-1857) yang mengusung positivisme lengkap dengan epistemologi yang harus diberlakukan pada semua ilmu pengetahuan. Di tengah penghambaan ilmu pengetahuan terhadap positivisme, Freud mendapat nilai buruk. Epistemologinya diserang, sehingga dalam pengantar “Tafsir Mimpi” ia merasa perlu menegaskan bagaimana kedudukan epistemologi mimpi dalam pengetahuan ilmiah kontemporer. Dari kalangan psikologi sendiri pun tidak sedikit yang enggan menerima psikoanalisis. Bukti tersebut terlihat jelas dari paparan James D. Page yang mewakili para psikolog berikut ini;
The unwillingness of most psychologists to accept psychoanalysis fully has been explained on the grounds that Freudian concepts are based on subjective, nonscientific techniques that have no self-evident validity.
Ungkapan di atas secara jelas didasarkan pada sebuah ukuran epistemologi yang memiliki syarat-syarat tertentu. Psikoanalisis dianggap subjective, nonscientific, dan tidak memiliki validitas.
Pernyataan lain yang lebih tegas menyerang kecacatan asumsi yang dibangun Freud dalam menghasilkan teori adalah pernyataan;
“The Oedipus Complex is based on the faulty assumption that there is a fixed, uniform pattern of family life.”
Pernyataan-pernyataan di atas adalah gambaran riil bagaimana besarnya peran epistemologi dalam menilai ilmu pengetahuan. Dengan alasan itulah, penulis merasa perlu untuk mengetahui bagaimana epistemologi, yang dalam hal ini adalah epistemologi psikoanalisis Sigmund Freud sebagai salah satu aliran dalam ilmu yang sedang penulis tekuni.
B. Rumusan Masalah
Epistemologi didefinisikan sebagai cabang filsafat yang memperlajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dengan mengacu pada definisi tersebut, maka kajian ini diarahkan pada ketiga unsur yang terdapat dalam epistemologi, yaitu:
Apa asal usul atau sumber yang digunakan Sigmund Freud untuk mendapatkan teori-teori psikoanalisis pada periode klasik?
Bagaimana struktur berpikir Sigmund Freud untuk merumuskan teori-teori psikoanalisis pada periode klasik?
Bagaimana metode Sigmund Freud untuk mendapatkan teori-teori psikoanalisis pada periode klasik?
C. Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk memahami (to understand) dan menjelaskan (to explan):
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepanjang dialektika manusia dalam masalah ilmu pengetahuan setelah renaissance, epistemologi selalu menjadi bahan diskusi, sekaligus bahan perdebatan yang tidak pernah habis. Rasionalisme yang memandang pengalaman inderawi hanya sebagai sejenis perangsang bagi pikiran, kemudian direspon oleh empirisme yang balik mengatakan bahwa akal hanya sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan. Walaupun tidak sama sekali mengingkari peran akal maupun indera, pada intinya keduanya tetap berdebat masalah sumber pengetahuan. Rasionalisme dan empirisme kemudian mendapat respon dari Immanuel Kant dengan pengakuannya bahwa akal dan indera adalah sumber ilmu pengetahuan.
Perdebatan-perdebatan epistemologi tersebut tidak berakhir pada satu tahap atau didamaikan oleh aliran tertentu, karena ia tidak hanya berbicara masalah sumber, tetapi juga metode dan struktur (pola pikir tokoh atau aliran). Metode untuk menjadikan pengetahuan sebagai ilmu memuat syarat-syarat yang berfungsi menguji keabsahan ilmu. Syarat-syarat itu adalah bahan perdebatan yang menambah masalah epistemologi tidak pernah tuntas. Richard Rorty, yang pemikirannya diulas oleh I. Bambang Sugiharto adalah salah satu tokoh yang menyerang epistemologi dari sisi metode. Ia mengkritik bahwa metode rasionalisme adalah bentuk keanehan. Menurut rasionalisme, ilmu harus selalu merupakan persesuaian persis antara akal dan kenyataan luar. Untuk mencapai persesuaian, rasionalisme mengharuskan adanya refleksi yang mengkaji pendapat-pendapat yang dilakukan oleh akal sendiri. Pendapat-pendapat ditata secara betul sesuai dengan hubungan-hubungan yang jelas dan tegas. Seluruh prosedur tersebut dilakukan oleh akal. Artinya, keabsahan ilmu didasarkan pada akal. Otoritas akal itulah yang justru menjadikan upaya persesuaian pengetahuan antara akal dan kenyataan luar tidak tercapai. Subjektivitas adalah penentu sahihnya ilmu. Oleh karena itu, wajar jika empirisme mempermasalahkan subjektivitas rasionalisme.
Epistemologi adalah pemegang wewenang atas keabsahan ilmu. Pada waktu yang sama, wewenang epistemologi adalah “kekangan” bagi semua ilmu. Semua ilmu harus tunduk dan patuh terhadap epistemologi agar mendapat predikat sah. Dan konsekuensi terbesar bagi ilmu yang tidak patuh adalah claim ketidaksahihan. Konsekuensi tersebut berlaku bagi semua ilmu, tidak terkecuali psikologi.
August Comte tidak mengakui psikologi sebagai cabang ilmu, karena kajiannya adalah pengalaman batiniah, tidak dapat diindera, atau tidak terbukti (non-evident). Dari sisi sumber maupun metode, psikologi dikatakan tidak memiliki kesahihan. Tentu saja redikat tersebut menimbulkan “kegerahan” beberapa ilmuwan yang disebut ilmuwan psikologi. Johan Friedrich Herbart (1776-1841) kontan menulis A Texbook of Psychology dan Psychology is Science yang menegaskan bahwa psikologi adalah ilmu. Sayangnya, Herbart terjebak oleh tulisannya sendiri. Ia tetap tidak membantu psikologi menjadi diakui sebagai ilmu karena tidak pernah melakukan penelitian ilmiah, melainkan hanya spekulasi-spekulasi. Herbart gugur sebagai “bapak psikologi” sebab tidak mematuhi syarat-syarat ilmu pengetahuan. Psikologi baru diakui setelah Wilhelm Wund mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig, Jerman. Psikologi diakui sebagai ilmu karena memiliki laboratorium yang berfungsi mengukur fenomena-fenomena psikologis tidak tampak menjadi tampak. Jadi, psikologi mengembangkan pengukuran-pengukuran terhadap fenomena-fenomena psikologi agar mendapat predikat ilmu.
Jika psikologi pernah tidak diakui sebagai ilmu karena kuasa epistemologi, bagaimana dengan psikoanalisis. Jawabannya adalah tidak jauh berbeda dengan psikologi. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis hidup di masa August Comte (1798-1857) yang mengusung positivisme lengkap dengan epistemologi yang harus diberlakukan pada semua ilmu pengetahuan. Di tengah penghambaan ilmu pengetahuan terhadap positivisme, Freud mendapat nilai buruk. Epistemologinya diserang, sehingga dalam pengantar “Tafsir Mimpi” ia merasa perlu menegaskan bagaimana kedudukan epistemologi mimpi dalam pengetahuan ilmiah kontemporer. Dari kalangan psikologi sendiri pun tidak sedikit yang enggan menerima psikoanalisis. Bukti tersebut terlihat jelas dari paparan James D. Page yang mewakili para psikolog berikut ini;
The unwillingness of most psychologists to accept psychoanalysis fully has been explained on the grounds that Freudian concepts are based on subjective, nonscientific techniques that have no self-evident validity.
Ungkapan di atas secara jelas didasarkan pada sebuah ukuran epistemologi yang memiliki syarat-syarat tertentu. Psikoanalisis dianggap subjective, nonscientific, dan tidak memiliki validitas.
Pernyataan lain yang lebih tegas menyerang kecacatan asumsi yang dibangun Freud dalam menghasilkan teori adalah pernyataan;
“The Oedipus Complex is based on the faulty assumption that there is a fixed, uniform pattern of family life.”
Pernyataan-pernyataan di atas adalah gambaran riil bagaimana besarnya peran epistemologi dalam menilai ilmu pengetahuan. Dengan alasan itulah, penulis merasa perlu untuk mengetahui bagaimana epistemologi, yang dalam hal ini adalah epistemologi psikoanalisis Sigmund Freud sebagai salah satu aliran dalam ilmu yang sedang penulis tekuni.
B. Rumusan Masalah
Epistemologi didefinisikan sebagai cabang filsafat yang memperlajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dengan mengacu pada definisi tersebut, maka kajian ini diarahkan pada ketiga unsur yang terdapat dalam epistemologi, yaitu:
Apa asal usul atau sumber yang digunakan Sigmund Freud untuk mendapatkan teori-teori psikoanalisis pada periode klasik?
Bagaimana struktur berpikir Sigmund Freud untuk merumuskan teori-teori psikoanalisis pada periode klasik?
Bagaimana metode Sigmund Freud untuk mendapatkan teori-teori psikoanalisis pada periode klasik?
C. Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk memahami (to understand) dan menjelaskan (to explan):