BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap lingkungan kerja selalu ada faktor pemicu terjadinya stres, yang
disebabkan oleh tuntutan pekerjaan yang tinggi, ruangan kantor yang tidak
nyaman, sikap rekan-rekan kerja, dan sikap bos yang dirasakan tidak
menyenangkan. Pada dasarnya gejala stres muncul bila ada rasa tertekan dengan
kondisi yang tidak sesuai harapan.
Apapun jenis dan namanya pekerjaan, secara umum seorang individu
hanya mampu memikul beban sampai suatu batas tertentu, bahkan ada beban yang
dirasa optimal bagi seseorang untuk dapat memikulnya, namun tidak bagi
individu yang lain.
Stres yang dialami oleh karyawan merupakan masalah tersendiri yang
perlu mendapatkan perhatian, karena karyawan yang mengalami stres kerja yang
berlebihan cenderung menjadi tidak optimal dalam bekerja. Schuler (dalam Murti,
1997) berpendapat bahwa stres kerja merupakan suatu keadaan dimana faktor-
faktor yang berhubungan dengan pekerjaan saling mempengaruhi dan mengubah
keadaan psikologis atau fisiologis karyawan. Lebih lanjut Gibson (1995)
menyatakan bahwa stres kerja adalah respon adaptif yang dipengaruhi oleh
karakteristik individu atau proses psikologis sebagai konsekuensi dari perilaku
atau kejadian lingkungan yang menimbulkan akibat-akibat khusus secara
psikologis maupun fisiologis terhadap perilaku.
Menurut penelitian Baker dkk (www.e-psikologi.com), stres yang dialami
oleh seseorang akan merubah cara kerja sistem kekebalan tubuh. Para peneliti ini
juga menyimpulkan bahwa stres akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap
serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting desease cells.
Akibatnya, orang tersebut cenderung sering dan mudah terserang penyakit yang
cenderung lama masa penyembuhannya karena tubuh tidak banyak memproduksi
sel-sel kekebalan tubuh, ataupun sel-sel antibodi banyak yang kalah.
Effendi (2003) berpendapat bahwa stres kerja dapat disebabkan oleh
pengaruh shift pekerjaan, optimalisasi pemanfaatan kemampuan, kelebihan beban
kerja, konflik peranan, ketimpangan dalam pengupahan, status profesi dan
perangkat atau fasilitas. Agar stres kerja tidak berdampak negatif perlu adanya
upaya secara intensif untuk pengendaliannya. Akan lebih baik jika dampak stres
tersebut diubah menjadi bersifat positif.
Lebih lanjut disebutkan bahwa stres berkepanjangan akan menyebabkan
ketegangan dan kekuatiran yang terus-menerus. Menurut istilah psikologi, stres
berkepanjangan ini disebut stres kronis. Stres kronis sifatnya menggerogoti dan
menghancurkan tubuh, pikiran dan seluruh kehidupan penderitanya secara
perlahan-lahan. Stres kronis umumnya terjadi di seputar masalah kemiskinan,
kekacauan keluarga, terjebak dalam perkawinan yang tidak bahagia, atau masalah
ketidakpuasan kerja. Akibatnya, orang akan terus-menerus merasa tertekan dan
kehilangan harapan (www.e-psikologi.com). Berdasarkan penelitian Cavanaugh,
Boswel, Roehling dan Boudreau (2000) disebutkan bahwa stres yang dilaporkan
oleh karyawan kaitannya dengan tantangan kerja berhubungan secara positif
dengan kepuasan kerja dan tidak dengan pencarian kerja.
Dubrin (dalam Hastutiningsih, 2002) yang mengemukakan bahwa stres
kerja adalah stres yang terjadi pada pekerjaan yang disebabkan oleh kondisi-
kondisi tertentu yang apabila berlarut-larut akan menimbulkan burn-out
(kelelahan mental, fisik dan emosional). Stres kerja yang dihadapi seseorang
dipengaruhi oleh banyak hal, salah satu yang dapat mempengaruhi tingkat stres
kerja seseorang adalah persepsi terhadap gaya kepemimpinan otoriter.
Karyawan yang mempersepsikan pemimpinnya memiliki gaya
kepemimpinan otoriter akan cenderung mengalami stres kerja. Menurut Arrizal
(2001) gaya kepemimpinan yang efektif (gaya kepemimpinan transaksional) akan
mempengaruhi kinerja karyawan atau bawahannya, dengan adanya gaya
kepemimpinan yang efektif diharapkan menekan tingkat stres karyawan yang
bersangkutan, karena menurut Arrizal (2001) dengan pemimpin dengan gaya
kepemimpinan transaksional mencapai tujuan dan sukses dengan menggunakan
manajemen sumber daya manusia. Sedangkan gaya kepemimpinan otoriter bukan
merupakan gaya kepemimpinan yang efektif. Gaya kepemimpinan adalah suatu
cara pemimpin untuk memimpin bawahannya (Reksohadiprodjo dan Handoko
dalam Arrizal, 2001). Sims dan Manz (dalam Arrizal, 2001) berpendapat bahwa
seorang pemimpin dapat menjadi pemimpin yang sukses karena pemimpin itu
memiliki gaya kepemimpinan yang efektif.
Menurut Woods (dalam Dale, 1991) pemimpin yang otoriter adalah
pemimpin yang membuat keputusan sendiri, karena kekuasaan terpusat dalam diri
satu individu saja. Pemimpin memikul tanggung jawab dan wewenang penuh.
Pengawasan yang dilakukan bersifat ketat, keputusan yang dibuat dipaksakan
dengan menggunakan imbalan dan kekhawatiran akan dihukum. Komunikasi
yang terjadi bersifat turun ke bawah. Bila wewenang dari pimpinan yang otoriter
menjadi menekan, bawahan merasa takut dan tidak pasti yang pada akhirnya dapat
menyebabkan timbulnya stres kerja pada karyawan yang bersangkutan.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi timbulnya stres kerja adalah self-
efficacy. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Effendi (2003) yang menyatakan
bahwa salah satu penyebab dari timbulnya stres kerja adalah optimalisasi
pemanfaatan kemampuan diri. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian
Nawangsari (2001) yang menyebutkan bahwa self-efficacy dan expectancy-value
mempengaruhi tingkat kecemasan individu, sedangkan kecemasan yang terus
menerus akan berkembang menjadi stres. Self-efficacy adalah kepercayaan akan
kemampuan diri individu untuk mengorganisasi dan memutuskan suatu tindakan
dalam mencapai tujuan yang hendak dicapai (Bandura dalam Valiante, 2003),
lebih lanjut Bandura (dalam Kear, 2003) menyebutkan bahwa self-efficacy
berhubungan dengan penilaian seseorang terhadap kemampuan personalnya.
Seseorang dengan self-efficacy yang tinggi percaya bahwa dia mampu
menyelesaikan tugasnya dan mempunyai kemauan untuk mengejar target tanpa
mengindahkan kesulitan yang mungkin muncul (Kear, 2003). Lebih lanjut
Bandura (1997) berpendapat bahwa self-efficacy pada dasarnya merupakan hasil
dari proses kognitif yang berbentuk keputusan atau keyakinan atau pengharapan
tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam
melaksanakan tugas atau melakukan suatu tindakan mengalami kesulitan maka
akan mengerahkan usahanya lebih besar untuk tertentu yang diperlukan untuk
mencapai hasil tertentu. Self-efficacy yang ada pada individu akan mempengaruhi
tingkat stres yang ada pada individu yang bersangkutan, dengan adanya self-
efficacy yang tinggi diharapkan individu tidak akan mengalami stres kerja atau
paling tidak mempunyai tingkat stres kerja yang rendah.
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah
“Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan otoriter dan
self efficcacy dengan stres kerja”. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka
penulis membuat hipotesis “Ada hubungan antara persepsi terhadap gaya
kepemimpinan otoriter dan self efficcacy dengan stres kerja”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
persepsi terhadap gaya kepemimpian otoriter dan self efficacy dengan stres kerja.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap lingkungan kerja selalu ada faktor pemicu terjadinya stres, yang
disebabkan oleh tuntutan pekerjaan yang tinggi, ruangan kantor yang tidak
nyaman, sikap rekan-rekan kerja, dan sikap bos yang dirasakan tidak
menyenangkan. Pada dasarnya gejala stres muncul bila ada rasa tertekan dengan
kondisi yang tidak sesuai harapan.
Apapun jenis dan namanya pekerjaan, secara umum seorang individu
hanya mampu memikul beban sampai suatu batas tertentu, bahkan ada beban yang
dirasa optimal bagi seseorang untuk dapat memikulnya, namun tidak bagi
individu yang lain.
Stres yang dialami oleh karyawan merupakan masalah tersendiri yang
perlu mendapatkan perhatian, karena karyawan yang mengalami stres kerja yang
berlebihan cenderung menjadi tidak optimal dalam bekerja. Schuler (dalam Murti,
1997) berpendapat bahwa stres kerja merupakan suatu keadaan dimana faktor-
faktor yang berhubungan dengan pekerjaan saling mempengaruhi dan mengubah
keadaan psikologis atau fisiologis karyawan. Lebih lanjut Gibson (1995)
menyatakan bahwa stres kerja adalah respon adaptif yang dipengaruhi oleh
karakteristik individu atau proses psikologis sebagai konsekuensi dari perilaku
atau kejadian lingkungan yang menimbulkan akibat-akibat khusus secara
psikologis maupun fisiologis terhadap perilaku.
Menurut penelitian Baker dkk (www.e-psikologi.com), stres yang dialami
oleh seseorang akan merubah cara kerja sistem kekebalan tubuh. Para peneliti ini
juga menyimpulkan bahwa stres akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap
serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting desease cells.
Akibatnya, orang tersebut cenderung sering dan mudah terserang penyakit yang
cenderung lama masa penyembuhannya karena tubuh tidak banyak memproduksi
sel-sel kekebalan tubuh, ataupun sel-sel antibodi banyak yang kalah.
Effendi (2003) berpendapat bahwa stres kerja dapat disebabkan oleh
pengaruh shift pekerjaan, optimalisasi pemanfaatan kemampuan, kelebihan beban
kerja, konflik peranan, ketimpangan dalam pengupahan, status profesi dan
perangkat atau fasilitas. Agar stres kerja tidak berdampak negatif perlu adanya
upaya secara intensif untuk pengendaliannya. Akan lebih baik jika dampak stres
tersebut diubah menjadi bersifat positif.
Lebih lanjut disebutkan bahwa stres berkepanjangan akan menyebabkan
ketegangan dan kekuatiran yang terus-menerus. Menurut istilah psikologi, stres
berkepanjangan ini disebut stres kronis. Stres kronis sifatnya menggerogoti dan
menghancurkan tubuh, pikiran dan seluruh kehidupan penderitanya secara
perlahan-lahan. Stres kronis umumnya terjadi di seputar masalah kemiskinan,
kekacauan keluarga, terjebak dalam perkawinan yang tidak bahagia, atau masalah
ketidakpuasan kerja. Akibatnya, orang akan terus-menerus merasa tertekan dan
kehilangan harapan (www.e-psikologi.com). Berdasarkan penelitian Cavanaugh,
Boswel, Roehling dan Boudreau (2000) disebutkan bahwa stres yang dilaporkan
oleh karyawan kaitannya dengan tantangan kerja berhubungan secara positif
dengan kepuasan kerja dan tidak dengan pencarian kerja.
Dubrin (dalam Hastutiningsih, 2002) yang mengemukakan bahwa stres
kerja adalah stres yang terjadi pada pekerjaan yang disebabkan oleh kondisi-
kondisi tertentu yang apabila berlarut-larut akan menimbulkan burn-out
(kelelahan mental, fisik dan emosional). Stres kerja yang dihadapi seseorang
dipengaruhi oleh banyak hal, salah satu yang dapat mempengaruhi tingkat stres
kerja seseorang adalah persepsi terhadap gaya kepemimpinan otoriter.
Karyawan yang mempersepsikan pemimpinnya memiliki gaya
kepemimpinan otoriter akan cenderung mengalami stres kerja. Menurut Arrizal
(2001) gaya kepemimpinan yang efektif (gaya kepemimpinan transaksional) akan
mempengaruhi kinerja karyawan atau bawahannya, dengan adanya gaya
kepemimpinan yang efektif diharapkan menekan tingkat stres karyawan yang
bersangkutan, karena menurut Arrizal (2001) dengan pemimpin dengan gaya
kepemimpinan transaksional mencapai tujuan dan sukses dengan menggunakan
manajemen sumber daya manusia. Sedangkan gaya kepemimpinan otoriter bukan
merupakan gaya kepemimpinan yang efektif. Gaya kepemimpinan adalah suatu
cara pemimpin untuk memimpin bawahannya (Reksohadiprodjo dan Handoko
dalam Arrizal, 2001). Sims dan Manz (dalam Arrizal, 2001) berpendapat bahwa
seorang pemimpin dapat menjadi pemimpin yang sukses karena pemimpin itu
memiliki gaya kepemimpinan yang efektif.
Menurut Woods (dalam Dale, 1991) pemimpin yang otoriter adalah
pemimpin yang membuat keputusan sendiri, karena kekuasaan terpusat dalam diri
satu individu saja. Pemimpin memikul tanggung jawab dan wewenang penuh.
Pengawasan yang dilakukan bersifat ketat, keputusan yang dibuat dipaksakan
dengan menggunakan imbalan dan kekhawatiran akan dihukum. Komunikasi
yang terjadi bersifat turun ke bawah. Bila wewenang dari pimpinan yang otoriter
menjadi menekan, bawahan merasa takut dan tidak pasti yang pada akhirnya dapat
menyebabkan timbulnya stres kerja pada karyawan yang bersangkutan.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi timbulnya stres kerja adalah self-
efficacy. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Effendi (2003) yang menyatakan
bahwa salah satu penyebab dari timbulnya stres kerja adalah optimalisasi
pemanfaatan kemampuan diri. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian
Nawangsari (2001) yang menyebutkan bahwa self-efficacy dan expectancy-value
mempengaruhi tingkat kecemasan individu, sedangkan kecemasan yang terus
menerus akan berkembang menjadi stres. Self-efficacy adalah kepercayaan akan
kemampuan diri individu untuk mengorganisasi dan memutuskan suatu tindakan
dalam mencapai tujuan yang hendak dicapai (Bandura dalam Valiante, 2003),
lebih lanjut Bandura (dalam Kear, 2003) menyebutkan bahwa self-efficacy
berhubungan dengan penilaian seseorang terhadap kemampuan personalnya.
Seseorang dengan self-efficacy yang tinggi percaya bahwa dia mampu
menyelesaikan tugasnya dan mempunyai kemauan untuk mengejar target tanpa
mengindahkan kesulitan yang mungkin muncul (Kear, 2003). Lebih lanjut
Bandura (1997) berpendapat bahwa self-efficacy pada dasarnya merupakan hasil
dari proses kognitif yang berbentuk keputusan atau keyakinan atau pengharapan
tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam
melaksanakan tugas atau melakukan suatu tindakan mengalami kesulitan maka
akan mengerahkan usahanya lebih besar untuk tertentu yang diperlukan untuk
mencapai hasil tertentu. Self-efficacy yang ada pada individu akan mempengaruhi
tingkat stres yang ada pada individu yang bersangkutan, dengan adanya self-
efficacy yang tinggi diharapkan individu tidak akan mengalami stres kerja atau
paling tidak mempunyai tingkat stres kerja yang rendah.
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah
“Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan otoriter dan
self efficcacy dengan stres kerja”. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka
penulis membuat hipotesis “Ada hubungan antara persepsi terhadap gaya
kepemimpinan otoriter dan self efficcacy dengan stres kerja”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
persepsi terhadap gaya kepemimpian otoriter dan self efficacy dengan stres kerja.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis.