BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Dewasa ini penggunaan bensin sebagai bahan bakar kendaraan bermotor menunjukan perkembangan yang pesat. Bensin banyak digunakan sebagai bahan bakar kendaraan baik mobil dan sepeda motor. Peningkatan jumlah kendaraan berbahan bakar bensin juga mengakibatkan kebutuhan bahan bakar bensin semakin tinggi pada tahun 2006 (17,47 juta kiloliter) dan diperkirakan pada tahun 2010 sebesar 22,5 juta kiloliter (Indartono, 2006 : 3), padahal persediaan minyak bumi sebagai bahan mentah bensin semakin menipis. Pada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) ditargetkan 5% pada tahun 2025 (Widodo, 2006 : 1). Oleh karena itu perlu dicari sumber bensin alternatif sehingga dapat mencukupi kebutuhan bensin di Indonesia.
Sumber bahan bakar alternatif untuk menghasilkan bensin diupayakan berasal dari bahan nabati. Seperti halnya biodiesel, minyak nabati dapat digunakan sebagai biogasoline. Minyak nabati dapat diperoleh dari macammacam tumbuhan, contohnya minyak biji karet, minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak, minyak kelor, minyak biji matahari, dan minyak biji kapuk.
Pemilihan minyak biji karet sebagai bahan baku pembuatan biogasoline disebabkan di Jawa Tengah banyak sekali limbah biji karet yang masih terbatas kegunaannya, sebagai mainan ketapel anak-anak dan minyak masak/minyak lampu, bahkan cenderung dibuang. Peneliti melihat peluang adanya kemampuan biji karet tersebut untuk diambil minyaknya (37,5%) (Loo, 1990 : 33). Dengan mengembangkan minyak biji karet sebagai bahan baku pembuatan biogasoline, maka sumber daya alam Indonesia yang melimpah tersebut dapat diolah menjadi valuable product yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Minyak biji karet yang digunakan untuk pembuatan bahan baku biogasoline merupakan hasil pengepresan biji karet.
Minyak biji karet ataupun minyak nabati pada umumnya memiliki kekentalan yang relatif tinggi dan mengandung asam lemak bebas lebih dari 2% dibandingkan dengan minyak solar dari fraksi minyak bumi Kekentalan dan kadar asam lemak bebas ini dapat dikurangi dengan memutus percabangan rantai karbon tersebut melalui proses transesterifikasi menggunakan alkohol rantai pendek, misalnya metanol atau etanol (Setyawardhani, 2003 : 7). Metanol lebih disukai karena memiliki reaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan etanol. (www.journeytoforever.org, 2003).
Reaksi transesterifikasi berjalan lambat, maka diperlukan katalis untuk menurunkan energi aktivasi dan mempercepat reaksi. Katalis dapat berupa asam, basa, atau enzim (Groggins, 1958; Ming et al., 1999; Kose dan Tuter, 2002 :77). Pada proses transesterifikasi, katalis basa memiliki keunggulan dibandingkan dengan katalis asam dari segi kecepatan, kesempurnaan reaksi, dan tidak memerlukan suhu operasi yang tinggi untuk menjalankan reaksi. Suhu operasi yang relatif rendah memberikan keuntungan berupa kebutuhan energi untuk proses rendah pula sehingga akan menurunkan biaya operasi (Swern, 1982 : 83). Dalam perindustrian minyak, bensin dihasilkan dari perengkahan katalitik dengan menggunakan katalis. Katalis yang biasa digunakan adalah katalis asam.
Dengan cara yang sama metil ester dari minyak biji karet selanjutnya mengalami perengkahan katalitik dengan menggunakan katalis asam untuk menghasilkan bensin, seperti halnya pada industri minyak bumi. Perengkahan katalitik ini memiliki banyak keunggulan dibanding dengan perengkahan termal (Speight, 1991 : 66), diantaranya dapat menghasilkan bensin dengan bilangan oktana yang lebih tinggi.
Metil ester memiliki ikatan rangkap sehingga lebih mudah mengalami perengkahan dengan katalis asam sulfat. Ikatan rangkap pada metil ester inilah yang nantinya mengalami perengkahan menjadi senyawa yang lebih pendek. Inisiator Metil Etil Keton Peroksida akan membuat metil oleat dan metil linoleat menjadi radikal bebas yang mempermudah reaksi perengkahan oleh katalis asam sulfat.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya Ramadhas, dkk (2005) melakukan dua tahap esterifikasi untuk memproses minyak biji karet mentah (unrefined rubber seed oil) menjadi biodiesel. Pada penelitian Moestika, dkk (2004) meneliti biogasoline dari minyak sawit melalui perengkahan dengan katalis alumina menghasilkan berat molekul yang masih tinggi. Demikian pula yang dilakukan oleh Handayani (2004) membuat biogasoline dengan katalis yang lain yaitu menggunakan katalis zeolite. Produk biogasoline yang didapat memiliki bilangan oktana yang lebih tinggi (rata-rata 114) dibandingkan bensin (88) tetapi viskositas dan densitas produk masih terlalu tinggi.
1. 2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang ditemukan adalah persediaan minyak bumi sebagai bahan baku bahan bakar bensin semakin menipis, sedangkan konsumsi dan kebutuhan akan bensin semakin meningkat. Sementara itu biji karet yang banyak dihasilkan di perkebunan karet daerah Semarang Jawa Tengah sangat banyak dan belum maksimal dimanfaatkan, bahkan cenderung sebagai limbah padat.
Berdasarkan uraian diatas permasalahan yang muncul adalah bagaimana membuat produk biogasoline yang dihasilkan dari proses perengkahan metil ester dari minyak biji karet dengan menggunakan katalis asam sulfat dan inisiator Metil Etil Keton Peroksida (MEKP) ?
1. 3 Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Membuat biogasoline dari proses perengkahan metil ester dari minyak biji karet dengan menggunakan katalis asam sulfat dan inisiator Metil Etil Keton Peroksida (MEKP).
2. Menganalisis jenis metil ester hasil transesterifikasi minyak biji karet.
3. Mengukur dan membandingkan sifat biogasoline dengan bensin premium yaitu densitas, viskositas, dan bilangan oktana.
1. 4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang akan dilakukan yaitu :
1. Memberi informasi tentang proses pembuatan biogasoline dari minyak biji karet.
2. Memberikan nilai tambah ekonomi pada biji karet.
3. Memberikan informasi tentang kualitas bigasoline dari minyak biji karet.