BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Transisi dalam kehidupan menghadapkan individu pada perubahanperubahan dan tuntutan-tuntutan sehingga diperlukan adanya penyesuaian diri. Penyesuaian diri merupakan variasi kegiatan organisme dalam mengatasi suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan serta menegakkan hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik dan sosial (Chaplin, 1999, h. 11). Penyesuaian diri juga dapat diartikan sebagai reaksi terhadap tuntutan-tuntutan terhadap diri individu (Vembriarto, 1993, h. 16). Tuntutan-tuntutan tersebut dapat digolongkan menjadi tuntutan internal dan tuntutan eksternal. Tuntutan internal merupakan tuntutan yang berupa dorongan atau kebutuhan yang timbul dari dalam yang bersifat fisik dan sosial. Tuntutan eksternal adalah tuntutan yang berasal dari luar diri individu baik bersifat fisik maupun sosial.
Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan mental remaja. Banyak remaja yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri (Mu’tadin, 2002). Kegagalan remaja dalam melakukan penyesuaian diri akan menimbulkan bahaya seperti tidak bertanggung jawab dan mengabaikan pelajaran, sikap sangat agresif dan sangat yakin pada diri sendiri, perasaan tidak aman, merasa ingin pulang jika berada jauh dari lingkungan yang tidak dikenal, dan perasaan menyerah. Bahaya yang lain adalah terlalu banyak berkhayal untuk mengimbangi ketidakpuasannya, mundur ke tingkat perilaku yang sebelumnya, dan menggunakan mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi, proyeksi, berkhayal, dan pemindahan (Hurlock, 1997, h. 239).
Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani transisi kehidupan, salah satunya adalah transisi sekolah. Transisi sekolah adalah perpindahan siswa dari sekolah yang lama ke sekolah yang baru yang lebih tinggi tingkatannya. Transisi siswa dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama menarik perhatian para ahli perkembangan, pada dasarnya transisi tersebut adalah pengalaman normatif bagi semua siswa, tetapi hal tersebut dapat menimbulkan stres. Stres tersebut timbul karena transisi berlangsung pada suatu masa ketika banyak perubahan pada individu yaitu fisik, sosial dan psikologis (Blyth dkk, 1983, h. 266; Eccles dan Midgely, 1990 dalam Santrock, 2002, h. 16). Perubahan tersebut meliputi masa pubertas dan hal-hal yang berkaitan dengan citra tubuh, meningkatnya tanggung jawab dan kemandirian, perubahan dari struktur kelas yang kecil dan akrab menjadi struktur kelas yang lebih besar dan impersonal, peningkatan jumlah guru dan teman, serta meningkatnya fokus pada prestasi (Santrock, 2002, h. 16). Selain itu, siswa baru di sekolah seringkali bermasalah karena bergeser dari posisi atas atau senior di sekolah dasar ke posisi bawah atau junior di sekolah yang baru atau disebut sebagai top-dog phenomenon (Blyth dkk, 1983, h. 266).
Transisi remaja dari sekolah lanjutan pertama ke sekolah lanjutan atas tidak diulas secara khusus oleh para ahli (Santrock, 2002, h. 16; Bandura, 1997, h. 178; Newman, 1981, h. 218). Meskipun demikian transisi tersebut merupakan hal yang