ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan dengan judul “Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Qira’at al-Qur‟an” penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana kajian orientalis tentang qira’at al-Qur‟an dan bagaimana pemikiran Ignaz Goldziher tentang qira’at al-Qur‟an? Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data penelitiannya diperoleh melalui kajian teks (tekt reading) dan selanjutnya di analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif. Salah seorang orientalis yang termasuk paling awal mengangkat masalah perbedaan qira'at dengan ortografi Mushaf Utsmani adalah Noldeke. Dalam pandangannya, tulisan Arab menjadi penyebab perbedaan qira'at, menurut Jeffery kekurangan tanda titik dalam Mushaf „Utsmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia pahami, sedangkan menurut R. Blachere yang penting bukanlah teks al-Qur‟an dan huruf-hurufnya, tapi justru rohnya. Berpijak dari sini, maka pemilihan huruf dalam qira’at yang terdiri dari kata-kata sinonim menjadi hal yang diperbolehkan dan tidak menjadi fokus perhatian. Dari statemen R. Blachere di atas ia menganggap bahwa kaum muslimin lebih mementingkan ruh al-Qur'an, bukan huruf dan teksnya. Menurutnya, inilah yang menyebabkan lahirnya qira'at.
Para orientalis seperti Noldeke, Jeffery, dan Blachere salah paham mengenai “rasm” al -Qur‟an. Kekeliruan mereka ialah, munculnya beberapa macam qira’at disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca bisa saja berimprovisasi dan membaca “sesuka -hatinya”. Padahal ragam qira’at telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm. Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm al- Qur‟an telah disepakati sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung perbagai qira’at yang diterima.
Sedangkan dalam pandangan Ignaz Goldziher, adanya perbedaan qira’at al-Qur‟an itu di kembalikan pada karakteristik tulisan Arab yang mana bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan bacaan yang berbeda, tergantung pada perbedaan tanda titik yang di letakan diatas huruf atau di bawah huruf serta berapa banyak itu sendiri. Perbedaan harakat tanda baca yang tidak ditemukan batasannya dalam tulisan Arab yang asli memicu perbedaan posisi I’rab (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat yang menyebabkan lahirnya perbedaan makna (dalalah). Di lihat dari sini Goldziher telah keliru, yang menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul (al-Qur‟an) inilah sumber variant readings sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel, serta keliru menyamakan qira’at dengan redings, padahal qira’at adalah recitation from memory dan bukan reding the teks. Jadi dalam hal ini kaidahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang di riwayatkan dari Nabi saw (ar-rasmu tabi’un li ar-riwayah) dan bukan sebaliknya.