ABSTRAK
Mukhabarah dan muzara’ah merupakan kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap atau pengelola dengan bagian tertentu dari hasil panen. Diantara keduanya ada sedikit perbedaan yaitu muzara’ah modal berasal dari pemilik lahan dan mukhabarah modal berasal dari penggarap. Akad muzara’ah dan mukhabarah menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah tidak sah dikarenakan hasilnya belum diketahui dengan jelas. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Hanbali, Imam Hanafi akad muzara’ah dan mukhabarah di bolehkan dengan alasan saling tolong menolong antarsesama. Sedangkan mengenai penanggungan kerugian menurut para Ulama harus ditanggung oleh kedua belah pihak.
Perjanjian kerjasama pertania garam yang terjadi di Desa Guyangan dilakukan secara lisan tanpa menghadirkan saksi dan jangka waktu berakhirnya akad tersebut juga tidak ditentukan dengan jelas sejak awal akad. Ketika terjadi kerugian maka yang menanggung adalah salah satu pihak saja. Sehingga dalam akadnya diasumsikan terdapat unsur gharar serta adanya unsur ketidakadilan dan eksploitasi terhadap pihak lain.
Penulis menemukan permasalahan sebagai berikut: Pertama: Bagaimana praktek Perjanjian kerjasama pertanian garam di Desa Guyangan Kecamatan Trangkil Kabupaten Pati?, kedua: Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktek perjanjian kerjasama pertanian garam di Desa Guyangan Kecamatan Trangkil Kabupaten Pati?
Jenis penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research) yang dilakukan di Desa Guyangan Kecamatan Trangkil Kabupaten Pati. Untuk mendapatkan data yang valid, penulis menggunakan metode pengumpulan data yaitu wawancara, dokumentasi dan observasi. Sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif kualitatif.
Dari hasil penelitian terhadap praktek perjanjian kerjasama pertanian garam di Desa Guyangan Kecamatan Trangkil Kabupaten Pati dilakukan oleh dua pihak yaitu antara pemilik lahan dan penggarap dalam bentuk pernyataan lisan tanpa menghadirkan saksi dengan sistem bagi hasil yaitu paronan atau pertelon tergantung pada kesepakatan di awal akad. Namun dalam hal penanggungan kerugian bisa dikatakan bertentangan dengan para jumhur ulama, karena pada prakteknya jika terjadi kerugian maka yang menanggung adalah salah satu pihak saja, sehingga ada salah satu pihak yang merasa dirugikan.