ABSTRAK
Fatwa DSN MUI Nomor: Kep-139/MUI/IV/2000 Tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik menyebutkan bahwa cacing merupakan al- Hasyarat dan membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, tidak bertentangan dengan hukum Islam, dan tidak untuk diperjualbelikan, maka hukum membudidayakan cacing tersebut adalah boleh (mubah). Akan tetapi sebagian kecil masyarakat di Desa Wonolopo memilih untuk membudidayakan cacing yang kemudian didistribusikan dengan akad jual beli dan nantinya dimanfaatkan oleh pembeli untuk dijadikan kosmetik, dan obat.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan tentang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktek budidaya cacing di Desa Wonolopo, Kecamatan Mijen, Kota Semarang?, serta bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktek jual beli cacing di desa tersebut?.
Penelitian ini adalah jenis penelitian Field Research dan termasuk penelitian hukum normatif-empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis yang digunakan oleh penulis adalah deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif, serta menggunakan pola pikir deduktif.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa hukum budidaya cacing yang dikaji melalui pendekatan kaidah al-ashlu fi al-manafi al-ibahah, maslahah mursalah dan maqasid syari’ah, hukumnya adalah halal (mubah). Selanjutnya, praktek jual beli cacing telah memenuhi semua rukun dan syarat sahnya jual beli. Para peternak menggunakan ampas aren sebagi media, dan tidak memberi makan cacing dengan kotoran, maka ia tidak tergolong jallalah (pemakan najis) ataupun khobaits (kotor), sehingga tidak najis, selain itu cacing ini juga memiliki banyak manfaat. Jadi dapat dikatakan cacing-cacing tersebut telah memenuhi syarat menjadi objek jual beli, yakni suci dan bermanfaat. Berdasarkan hal tersebut maka hukum jual belinya adalah mubah.
Kata Kunci: Hukum Islam, Jual beli, Cacing.