Isikan Kata Kunci Untuk Memudahkan Pencarian

Hubungan Antara Kepuasan Kerja Dengan Job Insecurity Pada Guru Negeri Dan Guru Swasta

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat menjalankan fungsinya sebagai salah satu elemen utama dalam suatu

sistem kerja, karyawan tidak bisa lepas dari berbagai kesulitan dan masalah. Begitu

pula dalam dunia pendidikan. Salah satu masalah yang sering dan menjadi persoalan

misalnya job insecurity. Greenhalgh dan Rosenblatt (Farida, 2003) mendefinisikan

job insecurity sebagai “ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan

yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam”.

Job insecurity dapat dialami oleh siapapun dengan jenis pekerjaan apa saja,

secara umum orang berpendapat bahwa semakin tinggi jabatan yang dimiliki oleh

seseorang maka ia akan semakin mudah pula mengalami job insecurity karena beban

tanggung jawab yang harus ditanggungnya juga semakin besar dibanding pemegang

jabatan yang lebih rendah. Anggapan semacam ini sebenarnya kurang tepat karena

orang yang bekerja di bawahnya juga dapat mengalami tekanan dalam pekerjaan. Jadi

tidak hanya pimpinan saja yang dapat mengalami job insecurity tetapi karyawan

biasapun bisa mengalaminya. Dalam batas-batas job insecurity tekanan masih dapat

ditoleransi, tetapi bila melampaui batas daya tahan seseorang akan mengakibatkan

kerusakan penyimpangan-penyimpangan fisiologis, psikologis serta menyebabkan

hubungan yang tidak harmonis perilaku pada orang-orang yang terlibat dalam

organisasi (Farida, 2003).

Green (2003) menyatakan job insecurity sebagai kegelisaan pekerjaan, yaitu

sebagai suatu keadaan dari pekerjaan yang terus menerus dan tidak menyenangkan.

Karyawan yang mengalami job insecurity dapat mengganggu semangat kerja

sehingga efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan tugas tidak dapat diharapkan

dan juga akan mengakibatkan turunnya produktivitas kerja. Akibat turunnya

produktivitas tentu saja mempengaruhi keberlangsungan organisasi.

Guru sebagai pendidik maupun sebagai pengajar merupakan salah satu faktor

penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan. Gurulah yang seharusnya paling

memahami, mengapa prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian

murid bolos atau putus sekolah, metoda mengajar apakah yang efektif, apakah

kurikulumnya dapat dilaksanakan, dan sebagainya. Guru-guru bersama kepala

sekolah dapat bekerjasama untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut

proses pembelajaran tersebut. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru harus

dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin

peka terhadap dan memahami dengan cepat cara-cara pemecahan masalah pendidikan

di sekolahnya masing-masing (Kartono, 2002).

Idealnya, mutu calon mahasiswa pendidikan guru harus yang terbaik karena

tugas mereka yang demikian penting di masa depan, yaitu mengembangkan SDM

bangsa ini seutuhnya. Guru mempunyai tugas penting dalam menumbuhkembangkan

kemampuan dan keterampilan siswa, serta menanamkan nilai-nilai yang baik

kepadanya. Mutu calon guru itu hanya akan dapat ditingkatkan jika profesi guru itu

benar-benar merupakan karier yang lebih memuaskan baik secara ekonomi maupun

profesional. Tentunya, masyarakat akan bersedia membayar mahal guru jika profesi

guru itu benar-benar langka dibutuhkan dan tidak setiap orang awam bisa melakukan

pekerjaan sebagai guru (Kartono, 2002).

Kenyataan pada masa sekarang terlihat adanya ketimpangan kesejahteraan

antara guru (PNS) dengan guru swasta. Sekolah negeri sejak awal pendirian sudah

difasilitasi oleh pemerintah, baik sarana dan prasarana maupun gaji gurunya.

Meskipun sudah ada yang berstatus Badan Usaha, seperti Universitas Gadjah Mada

(UGM) Yogyakarta. Tapi, biaya pendidikan merangkak naik, malah melebihi sekolah

swasta. Menjadi tidak adil bila para guru negeri gajinya berulang kali dinaikkan,

sementara gaji guru swasta atau honorer tetap jalan di tempat. Itu pun masih dibebani

pajak penghasilan yang mungkin juga untuk menggaji para guru negeri.

Darmaningtyas (dalam Kartono, 2002) mengemukakan situasi paling berat

dialami oleh para guru di sekolah-sekolah swasta kecil, baik yang ada di desa maupun

di kota. Basis material sekolah-sekolah swasta bergantung pada jumlah siswa;

semakin besar jumlah siswa semakin kuat pula sekolah itu, sebaliknya semakin kecil

jumlah siswa semakin lemah pula kondisi sekolah swasta tersebut. Mantan

Mendiknas Abdul Malik Fadjar (Kartono 2002) mengatakan bahwa guru bukanlah

buruh, tentu saja berkait dengan hakikat tugasnya. Ironisnya, sejumlah besar guru-

terutama guru swasta dan honorer-menerima pembayaran secara eceran alias sesuai

jam mengajarnya, dan itu berarti cara pembayaran buruh. Kalau selama seminggu

mengajar terus-me-nerus selama 40 jam pelajaran, maka dalam hitungan honor

selama sebulan seorang guru akan membawa pulang Rp 200.000, seandainya honor

per jam Rp 5.000. Status para guru demikian tidak memungkinkan perolehan

berbagai tunjangan atau dana pensiun.

Kenyataan lain yang bisa menambah stres seorang guru swasta seperti

kelangsungan mengajar pada guru swasta. seorang guru swasta biasanya terikat pada

kontrak kerjanya, jika kinerja guru swasta kurang bagus maka dia akan segera

dikeluarkan dari yayasan. Bila seorang guru swasta yang mendapat perlakukan tidak

adil dari pihak yayasan yang menaungi sebuah lembaga pendidikan, dia harus lebih

banyak menerima itu dengan pasrah. Hal itu karena tidak ada aturan yang jelas

tentang status hukum guru swasta Misalnya kasus yang belum lama terjadi di

Grobogan, Semarang. Seorang guru bantu (swasta) yang dipecat dengan alasan tidak

bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Sebagaimana buruh perusahaan yang

dilindungi UU Ketenagakerjaan, guru bantu yang di-PHK juga harus diperlakukan

hak-haknya seperti halnya guru PNS sesuai dengan UU yang berlaku (Iskandar,

2003).

Dari sudut pandang manajemen guru, disadari atau tidak, adanya perlakuan

diskriminatif baik administratif maupun edukatif dalam keseluruhan pengelolaannya.

Hal ini dapat dipahami karena pola-pola manajemen guru senantiasa merujuk pada

ketentuan guru yang berstatus PNS. Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan

terdapat kekurang-terpaduan antara sistem supervisi dan pembinaan guru. Guru PNS

mempunyai kesempatan mengumpulkan angka kredit untuk memperoleh kenaikan

pangkat, memperoleh kesempatan peningkatan diri melalui penataran, mengikuti

pendidikan lanjut, dan hak-hak lainnya, sementara guru bantu (swasta) tidak sempat

menikmati fasilitas itu. Hal itu makin diperparah dengan beragamnya kebijakan

pemerintah daerah otonom yang merasa punya kewenangan mutlak untuk mengelola

mereka. Dengan perlakuan seperti itu, kesempatan pengembangan profesi di kalangan

guru bantu tidak dilakukan secara terprogram dalam keseluruhan manajemen guru.

Seperti yang diberitakan pada harian Kompas (dalam Gunawan, 2005) ratusan guru

bantu (swasta) melakukan demontrasi di Gedung DPR Jakarta untuk menuntut

ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh guru bantu, antara lain tentang kejelasan

status hukum mereka yang sudah mengajar begitu lama, kesejahteraan yang minim

dan tidak adanya penghargaan yang sepadan atas kinerja yang telah dilakukan..

Berkembang dan berakarnya sistem nilai sosial dan budaya masyarakat di

suatu tempat juga mempengaruhi kualitas kompetensi pribadi, sosial, kedisiplinan

dan profesional para guru bantu dalam mengemban tugasnya sebagai pendidik.

Misalnya setelah diberlakukannya UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah,

sebagian besar pekerjaan rumah pemerintahan pusat menjadi urusan daerah

termasuk di dalamnya masalah pendidikan, terlebih khusus pada pokok bidang

sumber daya, finansial, dan sarana prasarana lokal tanpa perencanaan yang matang

dan prospektif. Misalnya saja antara guru yang mengajar di daerah perkotaan dan

pedesaan, kendala yang dihadapi oleh guru bantu yang mengajar di daerah pedesaan

relatif lebih berat dibandingkan daerah kota, baik itu dari segi sarana transportas,

prasarana mengajar, dan keuangan daerah. (Gunawan, 2005)

Pemerintah telah merencanakan bahwa fokus pembangunan adalah

peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), dan pendidikan sebagai kunci

utamanya. Ini bisa dipahami dari konteks masyarakat Indonesia yang sudah tergolong

masyarakat industri modern. Surya (2004) mengemukakkan meski terbilang sulit

untuk menentukan karakteristik atau ukuran yang tepat dalam mengukur mutu

pendidikan, tetapi ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukurnya,

yaitu (1) kualitas guru dan (2) alat bantu proses pendidikan. Khusus pada hal pertama,

ada beberapa faktor yang mengakibatkan rendahnya mutu guru di semua jenjang

pendidikan. Pertama, kurangnya kesadaran dari para guru untuk mengembangkan

profesi keguruannya sehingga memunculkan guru-guru yang berpredikat "tukang

mengajar", berpengetahuan statis, tidak cerdas, dan berbau "konservatif", serta tidak

peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Profil guru seperti ini tidak hanya

ada di lembaga atau institusi pendidikan dasar saja, tetapi juga mulai merambah ke

lembaga pendidikan tinggi.

Kedua, banyaknya beban yang harus ditanggung sendiri oleh guru akibat

adanya tuntutan profesinya untuk menciptakan lulusan pendidikan yang prima tanpa

dibarengi perolehan finansial yang mencukupi kebutuhannya. Kondisi demikian

mengakibatkan adanya guru "nyambi", dan konsentrasi guru yang demikian dalam

mentransferkan ilmunya tidak terfokus dengan baik dan hatinya tidak tenang. Ketiga,

adanya kasus-kasus sosial yang melibatkan oknum guru dan merusak citra guru

sebagai panutan moral. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakharmonisan dalam

kontak antarpelaku pendidikan, antara guru dan siswa, sehingga proses transfer

keilmuan terganggu. Berbagai sorotan tajam terhadap profesi guru memang tidak

pernah berhenti. Satu di antaranya adalah ihwal pemotongan gaji guru yang

mengakibatkan mereka menjadi stres berat. Demikian pula suara-suara sumbang

terhadap rendahnya mutu calon guru.

Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah dinilai tidak memberikan

perhatian yang layak terhadap nasib guru dari sekolah swasta baik dari aspek hukum

maupun lainnya. Bahkan, posisi hukum guru swasta tersebut dinilai lebih rendah dari

buruh pabrik. "Kalau buruh pabrik diperlakukan tidak adil oleh perusahaan atau

misalnya di-PHK, mereka memiliki aturan hukum yang jelas bagaimana mengurus

nasib mereka dan apa yang akan mereka peroleh dari suatu tindakan PHK tersebut.

Namun, tidak demikian bila seorang guru swasta yang mendapat perlakukan tidak

adil dari pihak yayasan yang menaungi sebuah lembaga pendidikan, dia harus lebih

banyak menerima itu dengan pasrah. "Hal itu karena tidak ada aturan yang jelas

tentang status hukum guru swasta tersebut," sangat berbeda dengan guru dengan

status pegawai negeri yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia

(PGRI) yang memiliki aturan hukum yang jelas tentang status mereka.

Padahal, kalau dilihat dari jumlah guru swasta di Indonesia jauh lebih besar

dibandingkan guru dengan status PNS. "Perbandingannya bisa mencapai 1:6 mulai

dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi (Iskandar, 2005)

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kepuasan kerja

secara langsung maupun tidak langsung merupakan penghambat aktivitas kerja yang

bekerja dalam organisasi. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lingkungan kerja

seperti konflik dengan teman, perselisihan, kepuasan kerja maupun ketidakmampuan

karyawan dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya

berpeluang besar terhadap munculnya job insecurity. Berdasarkan uraian-uraian

tersebut maka dapat dibuat pertanyaan penelitian 1) Apakah ada hubungan antara

kepuasan kerja dengan job insecurity? 2) Apakah ada perbedaan kepuasan kerja dan

job insecurity antara guru negeri dan guru swasta?

Mengacu dari pertanyaan penelitian di atas, maka penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian yang berjudul “Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan

Job Insecurity pada Guru Negeri dan Guru Swasta”.
File Selengkapnya.....

Teman KoleksiSkripsi.com

Label

Administrasi Administrasi Negara Administrasi Niaga-Bisnis Administrasi Publik Agama Islam Akhwal Syahsiah Akuntansi Akuntansi-Auditing-Pasar Modal-Keuangan Bahasa Arab Bahasa dan Sastra Inggris Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Bimbingan Konseling Bimbingan Penyuluhan Islam Biologi Dakwah Ekonomi Ekonomi Akuntansi Ekonomi Dan Studi pembangunan Ekonomi Manajemen Farmasi Filsafat Fisika Fisipol Free Download Skripsi Hukum Hukum Perdata Hukum Pidana Hukum Tata Negara Ilmu Hukum Ilmu Komputer Ilmu Komunikasi IPS Kebidanan Kedokteran Kedokteran - Ilmu Keperawatan - Farmasi - Kesehatan – Gigi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Keperawatan Keperawatan dan Kesehatan Kesehatan Masyarakat Kimia Komputer Akuntansi Manajemen SDM Matematika MIPA Muamalah Olahraga Pendidikan Agama Isalam (PAI) Pendidikan Bahasa Arab Pendidikan Bahasa Indonesia Pendidikan Bahasa Inggris Pendidikan Biologi Pendidikan Ekonomi Pendidikan Fisika Pendidikan Geografi Pendidikan Kimia Pendidikan Matematika Pendidikan Olah Raga Pengembangan Masyarakat Pengembangan SDM Perbandingan Agama Perbandingan Hukum Perhotelan Perpajakan Perpustakaan Pertambangan Pertanian Peternakan PGMI PGSD PPKn Psikologi PTK PTK - Pendidikan Agama Islam Sastra dan Kebudayaan Sejarah Sejarah Islam Sistem Informasi Skripsi Lainnya Sosiologi Statistika Syari'ah Tafsir Hadist Tarbiyah Tata Boga Tata Busana Teknik Arsitektur Teknik Elektro Teknik Industri Teknik Industri-mesin-elektro-Sipil-Arsitektur Teknik Informatika Teknik Komputer Teknik Lingkungan Teknik Mesin Teknik Sipil Teknologi informasi-ilmu komputer-Sistem Informasi Tesis Farmasi Tesis Kedokteran Tips Skripsi