BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat menjalankan fungsinya sebagai salah satu elemen utama dalam suatu
sistem kerja, karyawan tidak bisa lepas dari berbagai kesulitan dan masalah. Begitu
pula dalam dunia pendidikan. Salah satu masalah yang sering dan menjadi persoalan
misalnya job insecurity. Greenhalgh dan Rosenblatt (Farida, 2003) mendefinisikan
job insecurity sebagai “ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan
yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam”.
Job insecurity dapat dialami oleh siapapun dengan jenis pekerjaan apa saja,
secara umum orang berpendapat bahwa semakin tinggi jabatan yang dimiliki oleh
seseorang maka ia akan semakin mudah pula mengalami job insecurity karena beban
tanggung jawab yang harus ditanggungnya juga semakin besar dibanding pemegang
jabatan yang lebih rendah. Anggapan semacam ini sebenarnya kurang tepat karena
orang yang bekerja di bawahnya juga dapat mengalami tekanan dalam pekerjaan. Jadi
tidak hanya pimpinan saja yang dapat mengalami job insecurity tetapi karyawan
biasapun bisa mengalaminya. Dalam batas-batas job insecurity tekanan masih dapat
ditoleransi, tetapi bila melampaui batas daya tahan seseorang akan mengakibatkan
kerusakan penyimpangan-penyimpangan fisiologis, psikologis serta menyebabkan
hubungan yang tidak harmonis perilaku pada orang-orang yang terlibat dalam
organisasi (Farida, 2003).
Green (2003) menyatakan job insecurity sebagai kegelisaan pekerjaan, yaitu
sebagai suatu keadaan dari pekerjaan yang terus menerus dan tidak menyenangkan.
Karyawan yang mengalami job insecurity dapat mengganggu semangat kerja
sehingga efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan tugas tidak dapat diharapkan
dan juga akan mengakibatkan turunnya produktivitas kerja. Akibat turunnya
produktivitas tentu saja mempengaruhi keberlangsungan organisasi.
Guru sebagai pendidik maupun sebagai pengajar merupakan salah satu faktor
penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan. Gurulah yang seharusnya paling
memahami, mengapa prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian
murid bolos atau putus sekolah, metoda mengajar apakah yang efektif, apakah
kurikulumnya dapat dilaksanakan, dan sebagainya. Guru-guru bersama kepala
sekolah dapat bekerjasama untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut
proses pembelajaran tersebut. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru harus
dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin
peka terhadap dan memahami dengan cepat cara-cara pemecahan masalah pendidikan
di sekolahnya masing-masing (Kartono, 2002).
Idealnya, mutu calon mahasiswa pendidikan guru harus yang terbaik karena
tugas mereka yang demikian penting di masa depan, yaitu mengembangkan SDM
bangsa ini seutuhnya. Guru mempunyai tugas penting dalam menumbuhkembangkan
kemampuan dan keterampilan siswa, serta menanamkan nilai-nilai yang baik
kepadanya. Mutu calon guru itu hanya akan dapat ditingkatkan jika profesi guru itu
benar-benar merupakan karier yang lebih memuaskan baik secara ekonomi maupun
profesional. Tentunya, masyarakat akan bersedia membayar mahal guru jika profesi
guru itu benar-benar langka dibutuhkan dan tidak setiap orang awam bisa melakukan
pekerjaan sebagai guru (Kartono, 2002).
Kenyataan pada masa sekarang terlihat adanya ketimpangan kesejahteraan
antara guru (PNS) dengan guru swasta. Sekolah negeri sejak awal pendirian sudah
difasilitasi oleh pemerintah, baik sarana dan prasarana maupun gaji gurunya.
Meskipun sudah ada yang berstatus Badan Usaha, seperti Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta. Tapi, biaya pendidikan merangkak naik, malah melebihi sekolah
swasta. Menjadi tidak adil bila para guru negeri gajinya berulang kali dinaikkan,
sementara gaji guru swasta atau honorer tetap jalan di tempat. Itu pun masih dibebani
pajak penghasilan yang mungkin juga untuk menggaji para guru negeri.
Darmaningtyas (dalam Kartono, 2002) mengemukakan situasi paling berat
dialami oleh para guru di sekolah-sekolah swasta kecil, baik yang ada di desa maupun
di kota. Basis material sekolah-sekolah swasta bergantung pada jumlah siswa;
semakin besar jumlah siswa semakin kuat pula sekolah itu, sebaliknya semakin kecil
jumlah siswa semakin lemah pula kondisi sekolah swasta tersebut. Mantan
Mendiknas Abdul Malik Fadjar (Kartono 2002) mengatakan bahwa guru bukanlah
buruh, tentu saja berkait dengan hakikat tugasnya. Ironisnya, sejumlah besar guru-
terutama guru swasta dan honorer-menerima pembayaran secara eceran alias sesuai
jam mengajarnya, dan itu berarti cara pembayaran buruh. Kalau selama seminggu
mengajar terus-me-nerus selama 40 jam pelajaran, maka dalam hitungan honor
selama sebulan seorang guru akan membawa pulang Rp 200.000, seandainya honor
per jam Rp 5.000. Status para guru demikian tidak memungkinkan perolehan
berbagai tunjangan atau dana pensiun.
Kenyataan lain yang bisa menambah stres seorang guru swasta seperti
kelangsungan mengajar pada guru swasta. seorang guru swasta biasanya terikat pada
kontrak kerjanya, jika kinerja guru swasta kurang bagus maka dia akan segera
dikeluarkan dari yayasan. Bila seorang guru swasta yang mendapat perlakukan tidak
adil dari pihak yayasan yang menaungi sebuah lembaga pendidikan, dia harus lebih
banyak menerima itu dengan pasrah. Hal itu karena tidak ada aturan yang jelas
tentang status hukum guru swasta Misalnya kasus yang belum lama terjadi di
Grobogan, Semarang. Seorang guru bantu (swasta) yang dipecat dengan alasan tidak
bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Sebagaimana buruh perusahaan yang
dilindungi UU Ketenagakerjaan, guru bantu yang di-PHK juga harus diperlakukan
hak-haknya seperti halnya guru PNS sesuai dengan UU yang berlaku (Iskandar,
2003).
Dari sudut pandang manajemen guru, disadari atau tidak, adanya perlakuan
diskriminatif baik administratif maupun edukatif dalam keseluruhan pengelolaannya.
Hal ini dapat dipahami karena pola-pola manajemen guru senantiasa merujuk pada
ketentuan guru yang berstatus PNS. Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan
terdapat kekurang-terpaduan antara sistem supervisi dan pembinaan guru. Guru PNS
mempunyai kesempatan mengumpulkan angka kredit untuk memperoleh kenaikan
pangkat, memperoleh kesempatan peningkatan diri melalui penataran, mengikuti
pendidikan lanjut, dan hak-hak lainnya, sementara guru bantu (swasta) tidak sempat
menikmati fasilitas itu. Hal itu makin diperparah dengan beragamnya kebijakan
pemerintah daerah otonom yang merasa punya kewenangan mutlak untuk mengelola
mereka. Dengan perlakuan seperti itu, kesempatan pengembangan profesi di kalangan
guru bantu tidak dilakukan secara terprogram dalam keseluruhan manajemen guru.
Seperti yang diberitakan pada harian Kompas (dalam Gunawan, 2005) ratusan guru
bantu (swasta) melakukan demontrasi di Gedung DPR Jakarta untuk menuntut
ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh guru bantu, antara lain tentang kejelasan
status hukum mereka yang sudah mengajar begitu lama, kesejahteraan yang minim
dan tidak adanya penghargaan yang sepadan atas kinerja yang telah dilakukan..
Berkembang dan berakarnya sistem nilai sosial dan budaya masyarakat di
suatu tempat juga mempengaruhi kualitas kompetensi pribadi, sosial, kedisiplinan
dan profesional para guru bantu dalam mengemban tugasnya sebagai pendidik.
Misalnya setelah diberlakukannya UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah,
sebagian besar pekerjaan rumah pemerintahan pusat menjadi urusan daerah
termasuk di dalamnya masalah pendidikan, terlebih khusus pada pokok bidang
sumber daya, finansial, dan sarana prasarana lokal tanpa perencanaan yang matang
dan prospektif. Misalnya saja antara guru yang mengajar di daerah perkotaan dan
pedesaan, kendala yang dihadapi oleh guru bantu yang mengajar di daerah pedesaan
relatif lebih berat dibandingkan daerah kota, baik itu dari segi sarana transportas,
prasarana mengajar, dan keuangan daerah. (Gunawan, 2005)
Pemerintah telah merencanakan bahwa fokus pembangunan adalah
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), dan pendidikan sebagai kunci
utamanya. Ini bisa dipahami dari konteks masyarakat Indonesia yang sudah tergolong
masyarakat industri modern. Surya (2004) mengemukakkan meski terbilang sulit
untuk menentukan karakteristik atau ukuran yang tepat dalam mengukur mutu
pendidikan, tetapi ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukurnya,
yaitu (1) kualitas guru dan (2) alat bantu proses pendidikan. Khusus pada hal pertama,
ada beberapa faktor yang mengakibatkan rendahnya mutu guru di semua jenjang
pendidikan. Pertama, kurangnya kesadaran dari para guru untuk mengembangkan
profesi keguruannya sehingga memunculkan guru-guru yang berpredikat "tukang
mengajar", berpengetahuan statis, tidak cerdas, dan berbau "konservatif", serta tidak
peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Profil guru seperti ini tidak hanya
ada di lembaga atau institusi pendidikan dasar saja, tetapi juga mulai merambah ke
lembaga pendidikan tinggi.
Kedua, banyaknya beban yang harus ditanggung sendiri oleh guru akibat
adanya tuntutan profesinya untuk menciptakan lulusan pendidikan yang prima tanpa
dibarengi perolehan finansial yang mencukupi kebutuhannya. Kondisi demikian
mengakibatkan adanya guru "nyambi", dan konsentrasi guru yang demikian dalam
mentransferkan ilmunya tidak terfokus dengan baik dan hatinya tidak tenang. Ketiga,
adanya kasus-kasus sosial yang melibatkan oknum guru dan merusak citra guru
sebagai panutan moral. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakharmonisan dalam
kontak antarpelaku pendidikan, antara guru dan siswa, sehingga proses transfer
keilmuan terganggu. Berbagai sorotan tajam terhadap profesi guru memang tidak
pernah berhenti. Satu di antaranya adalah ihwal pemotongan gaji guru yang
mengakibatkan mereka menjadi stres berat. Demikian pula suara-suara sumbang
terhadap rendahnya mutu calon guru.
Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah dinilai tidak memberikan
perhatian yang layak terhadap nasib guru dari sekolah swasta baik dari aspek hukum
maupun lainnya. Bahkan, posisi hukum guru swasta tersebut dinilai lebih rendah dari
buruh pabrik. "Kalau buruh pabrik diperlakukan tidak adil oleh perusahaan atau
misalnya di-PHK, mereka memiliki aturan hukum yang jelas bagaimana mengurus
nasib mereka dan apa yang akan mereka peroleh dari suatu tindakan PHK tersebut.
Namun, tidak demikian bila seorang guru swasta yang mendapat perlakukan tidak
adil dari pihak yayasan yang menaungi sebuah lembaga pendidikan, dia harus lebih
banyak menerima itu dengan pasrah. "Hal itu karena tidak ada aturan yang jelas
tentang status hukum guru swasta tersebut," sangat berbeda dengan guru dengan
status pegawai negeri yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) yang memiliki aturan hukum yang jelas tentang status mereka.
Padahal, kalau dilihat dari jumlah guru swasta di Indonesia jauh lebih besar
dibandingkan guru dengan status PNS. "Perbandingannya bisa mencapai 1:6 mulai
dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi (Iskandar, 2005)
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kepuasan kerja
secara langsung maupun tidak langsung merupakan penghambat aktivitas kerja yang
bekerja dalam organisasi. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lingkungan kerja
seperti konflik dengan teman, perselisihan, kepuasan kerja maupun ketidakmampuan
karyawan dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya
berpeluang besar terhadap munculnya job insecurity. Berdasarkan uraian-uraian
tersebut maka dapat dibuat pertanyaan penelitian 1) Apakah ada hubungan antara
kepuasan kerja dengan job insecurity? 2) Apakah ada perbedaan kepuasan kerja dan
job insecurity antara guru negeri dan guru swasta?
Mengacu dari pertanyaan penelitian di atas, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian yang berjudul “Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan
Job Insecurity pada Guru Negeri dan Guru Swasta”.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat menjalankan fungsinya sebagai salah satu elemen utama dalam suatu
sistem kerja, karyawan tidak bisa lepas dari berbagai kesulitan dan masalah. Begitu
pula dalam dunia pendidikan. Salah satu masalah yang sering dan menjadi persoalan
misalnya job insecurity. Greenhalgh dan Rosenblatt (Farida, 2003) mendefinisikan
job insecurity sebagai “ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan
yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam”.
Job insecurity dapat dialami oleh siapapun dengan jenis pekerjaan apa saja,
secara umum orang berpendapat bahwa semakin tinggi jabatan yang dimiliki oleh
seseorang maka ia akan semakin mudah pula mengalami job insecurity karena beban
tanggung jawab yang harus ditanggungnya juga semakin besar dibanding pemegang
jabatan yang lebih rendah. Anggapan semacam ini sebenarnya kurang tepat karena
orang yang bekerja di bawahnya juga dapat mengalami tekanan dalam pekerjaan. Jadi
tidak hanya pimpinan saja yang dapat mengalami job insecurity tetapi karyawan
biasapun bisa mengalaminya. Dalam batas-batas job insecurity tekanan masih dapat
ditoleransi, tetapi bila melampaui batas daya tahan seseorang akan mengakibatkan
kerusakan penyimpangan-penyimpangan fisiologis, psikologis serta menyebabkan
hubungan yang tidak harmonis perilaku pada orang-orang yang terlibat dalam
organisasi (Farida, 2003).
Green (2003) menyatakan job insecurity sebagai kegelisaan pekerjaan, yaitu
sebagai suatu keadaan dari pekerjaan yang terus menerus dan tidak menyenangkan.
Karyawan yang mengalami job insecurity dapat mengganggu semangat kerja
sehingga efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan tugas tidak dapat diharapkan
dan juga akan mengakibatkan turunnya produktivitas kerja. Akibat turunnya
produktivitas tentu saja mempengaruhi keberlangsungan organisasi.
Guru sebagai pendidik maupun sebagai pengajar merupakan salah satu faktor
penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan. Gurulah yang seharusnya paling
memahami, mengapa prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian
murid bolos atau putus sekolah, metoda mengajar apakah yang efektif, apakah
kurikulumnya dapat dilaksanakan, dan sebagainya. Guru-guru bersama kepala
sekolah dapat bekerjasama untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut
proses pembelajaran tersebut. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru harus
dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin
peka terhadap dan memahami dengan cepat cara-cara pemecahan masalah pendidikan
di sekolahnya masing-masing (Kartono, 2002).
Idealnya, mutu calon mahasiswa pendidikan guru harus yang terbaik karena
tugas mereka yang demikian penting di masa depan, yaitu mengembangkan SDM
bangsa ini seutuhnya. Guru mempunyai tugas penting dalam menumbuhkembangkan
kemampuan dan keterampilan siswa, serta menanamkan nilai-nilai yang baik
kepadanya. Mutu calon guru itu hanya akan dapat ditingkatkan jika profesi guru itu
benar-benar merupakan karier yang lebih memuaskan baik secara ekonomi maupun
profesional. Tentunya, masyarakat akan bersedia membayar mahal guru jika profesi
guru itu benar-benar langka dibutuhkan dan tidak setiap orang awam bisa melakukan
pekerjaan sebagai guru (Kartono, 2002).
Kenyataan pada masa sekarang terlihat adanya ketimpangan kesejahteraan
antara guru (PNS) dengan guru swasta. Sekolah negeri sejak awal pendirian sudah
difasilitasi oleh pemerintah, baik sarana dan prasarana maupun gaji gurunya.
Meskipun sudah ada yang berstatus Badan Usaha, seperti Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta. Tapi, biaya pendidikan merangkak naik, malah melebihi sekolah
swasta. Menjadi tidak adil bila para guru negeri gajinya berulang kali dinaikkan,
sementara gaji guru swasta atau honorer tetap jalan di tempat. Itu pun masih dibebani
pajak penghasilan yang mungkin juga untuk menggaji para guru negeri.
Darmaningtyas (dalam Kartono, 2002) mengemukakan situasi paling berat
dialami oleh para guru di sekolah-sekolah swasta kecil, baik yang ada di desa maupun
di kota. Basis material sekolah-sekolah swasta bergantung pada jumlah siswa;
semakin besar jumlah siswa semakin kuat pula sekolah itu, sebaliknya semakin kecil
jumlah siswa semakin lemah pula kondisi sekolah swasta tersebut. Mantan
Mendiknas Abdul Malik Fadjar (Kartono 2002) mengatakan bahwa guru bukanlah
buruh, tentu saja berkait dengan hakikat tugasnya. Ironisnya, sejumlah besar guru-
terutama guru swasta dan honorer-menerima pembayaran secara eceran alias sesuai
jam mengajarnya, dan itu berarti cara pembayaran buruh. Kalau selama seminggu
mengajar terus-me-nerus selama 40 jam pelajaran, maka dalam hitungan honor
selama sebulan seorang guru akan membawa pulang Rp 200.000, seandainya honor
per jam Rp 5.000. Status para guru demikian tidak memungkinkan perolehan
berbagai tunjangan atau dana pensiun.
Kenyataan lain yang bisa menambah stres seorang guru swasta seperti
kelangsungan mengajar pada guru swasta. seorang guru swasta biasanya terikat pada
kontrak kerjanya, jika kinerja guru swasta kurang bagus maka dia akan segera
dikeluarkan dari yayasan. Bila seorang guru swasta yang mendapat perlakukan tidak
adil dari pihak yayasan yang menaungi sebuah lembaga pendidikan, dia harus lebih
banyak menerima itu dengan pasrah. Hal itu karena tidak ada aturan yang jelas
tentang status hukum guru swasta Misalnya kasus yang belum lama terjadi di
Grobogan, Semarang. Seorang guru bantu (swasta) yang dipecat dengan alasan tidak
bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Sebagaimana buruh perusahaan yang
dilindungi UU Ketenagakerjaan, guru bantu yang di-PHK juga harus diperlakukan
hak-haknya seperti halnya guru PNS sesuai dengan UU yang berlaku (Iskandar,
2003).
Dari sudut pandang manajemen guru, disadari atau tidak, adanya perlakuan
diskriminatif baik administratif maupun edukatif dalam keseluruhan pengelolaannya.
Hal ini dapat dipahami karena pola-pola manajemen guru senantiasa merujuk pada
ketentuan guru yang berstatus PNS. Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan
terdapat kekurang-terpaduan antara sistem supervisi dan pembinaan guru. Guru PNS
mempunyai kesempatan mengumpulkan angka kredit untuk memperoleh kenaikan
pangkat, memperoleh kesempatan peningkatan diri melalui penataran, mengikuti
pendidikan lanjut, dan hak-hak lainnya, sementara guru bantu (swasta) tidak sempat
menikmati fasilitas itu. Hal itu makin diperparah dengan beragamnya kebijakan
pemerintah daerah otonom yang merasa punya kewenangan mutlak untuk mengelola
mereka. Dengan perlakuan seperti itu, kesempatan pengembangan profesi di kalangan
guru bantu tidak dilakukan secara terprogram dalam keseluruhan manajemen guru.
Seperti yang diberitakan pada harian Kompas (dalam Gunawan, 2005) ratusan guru
bantu (swasta) melakukan demontrasi di Gedung DPR Jakarta untuk menuntut
ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh guru bantu, antara lain tentang kejelasan
status hukum mereka yang sudah mengajar begitu lama, kesejahteraan yang minim
dan tidak adanya penghargaan yang sepadan atas kinerja yang telah dilakukan..
Berkembang dan berakarnya sistem nilai sosial dan budaya masyarakat di
suatu tempat juga mempengaruhi kualitas kompetensi pribadi, sosial, kedisiplinan
dan profesional para guru bantu dalam mengemban tugasnya sebagai pendidik.
Misalnya setelah diberlakukannya UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah,
sebagian besar pekerjaan rumah pemerintahan pusat menjadi urusan daerah
termasuk di dalamnya masalah pendidikan, terlebih khusus pada pokok bidang
sumber daya, finansial, dan sarana prasarana lokal tanpa perencanaan yang matang
dan prospektif. Misalnya saja antara guru yang mengajar di daerah perkotaan dan
pedesaan, kendala yang dihadapi oleh guru bantu yang mengajar di daerah pedesaan
relatif lebih berat dibandingkan daerah kota, baik itu dari segi sarana transportas,
prasarana mengajar, dan keuangan daerah. (Gunawan, 2005)
Pemerintah telah merencanakan bahwa fokus pembangunan adalah
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), dan pendidikan sebagai kunci
utamanya. Ini bisa dipahami dari konteks masyarakat Indonesia yang sudah tergolong
masyarakat industri modern. Surya (2004) mengemukakkan meski terbilang sulit
untuk menentukan karakteristik atau ukuran yang tepat dalam mengukur mutu
pendidikan, tetapi ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukurnya,
yaitu (1) kualitas guru dan (2) alat bantu proses pendidikan. Khusus pada hal pertama,
ada beberapa faktor yang mengakibatkan rendahnya mutu guru di semua jenjang
pendidikan. Pertama, kurangnya kesadaran dari para guru untuk mengembangkan
profesi keguruannya sehingga memunculkan guru-guru yang berpredikat "tukang
mengajar", berpengetahuan statis, tidak cerdas, dan berbau "konservatif", serta tidak
peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Profil guru seperti ini tidak hanya
ada di lembaga atau institusi pendidikan dasar saja, tetapi juga mulai merambah ke
lembaga pendidikan tinggi.
Kedua, banyaknya beban yang harus ditanggung sendiri oleh guru akibat
adanya tuntutan profesinya untuk menciptakan lulusan pendidikan yang prima tanpa
dibarengi perolehan finansial yang mencukupi kebutuhannya. Kondisi demikian
mengakibatkan adanya guru "nyambi", dan konsentrasi guru yang demikian dalam
mentransferkan ilmunya tidak terfokus dengan baik dan hatinya tidak tenang. Ketiga,
adanya kasus-kasus sosial yang melibatkan oknum guru dan merusak citra guru
sebagai panutan moral. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakharmonisan dalam
kontak antarpelaku pendidikan, antara guru dan siswa, sehingga proses transfer
keilmuan terganggu. Berbagai sorotan tajam terhadap profesi guru memang tidak
pernah berhenti. Satu di antaranya adalah ihwal pemotongan gaji guru yang
mengakibatkan mereka menjadi stres berat. Demikian pula suara-suara sumbang
terhadap rendahnya mutu calon guru.
Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah dinilai tidak memberikan
perhatian yang layak terhadap nasib guru dari sekolah swasta baik dari aspek hukum
maupun lainnya. Bahkan, posisi hukum guru swasta tersebut dinilai lebih rendah dari
buruh pabrik. "Kalau buruh pabrik diperlakukan tidak adil oleh perusahaan atau
misalnya di-PHK, mereka memiliki aturan hukum yang jelas bagaimana mengurus
nasib mereka dan apa yang akan mereka peroleh dari suatu tindakan PHK tersebut.
Namun, tidak demikian bila seorang guru swasta yang mendapat perlakukan tidak
adil dari pihak yayasan yang menaungi sebuah lembaga pendidikan, dia harus lebih
banyak menerima itu dengan pasrah. "Hal itu karena tidak ada aturan yang jelas
tentang status hukum guru swasta tersebut," sangat berbeda dengan guru dengan
status pegawai negeri yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) yang memiliki aturan hukum yang jelas tentang status mereka.
Padahal, kalau dilihat dari jumlah guru swasta di Indonesia jauh lebih besar
dibandingkan guru dengan status PNS. "Perbandingannya bisa mencapai 1:6 mulai
dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi (Iskandar, 2005)
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kepuasan kerja
secara langsung maupun tidak langsung merupakan penghambat aktivitas kerja yang
bekerja dalam organisasi. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lingkungan kerja
seperti konflik dengan teman, perselisihan, kepuasan kerja maupun ketidakmampuan
karyawan dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya
berpeluang besar terhadap munculnya job insecurity. Berdasarkan uraian-uraian
tersebut maka dapat dibuat pertanyaan penelitian 1) Apakah ada hubungan antara
kepuasan kerja dengan job insecurity? 2) Apakah ada perbedaan kepuasan kerja dan
job insecurity antara guru negeri dan guru swasta?
Mengacu dari pertanyaan penelitian di atas, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian yang berjudul “Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan
Job Insecurity pada Guru Negeri dan Guru Swasta”.