BAB I
PENDAHULUAN
A. Perumusan Masalah
Proses belajar di sekolah bertujuan membantu siswa bertumbuh dan
berkembang secara optimal dalam berbagai aspek kepribadian, sehingga menjadi
manusia dewasa yang mandiri di tengah masyarakat. Untuk mencapai
perkembangan optimal, maka ruang lingkup proses pendidikan harus meliputi tiga
bidang kegiatan, yaitu: pertama, Bidang Administratif dan Kepemimpinan.
Bidang kegiatan ini menyangkut masalah administratif dan kepemimpinan yaitu
masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan pendidikan secara
efisien.
Pemimpin sekolah mengatur penyelenggaraan sekolah dalam segala
aspeknya. Pada umumnya bidang ini merupakan tanggung jawab kepala sekolah
bersama para petugas administratif lainnya. Kedua, Bidang Pengajaran dan
Kurikuler. Bidang ini bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pengajaran
yang bertujuan memberi pengetahuan, keterampilan dan sikap pada siswa. Pada
umumnya bidang ini merupakan tugas dan tanggung jawab guru dalam proses
kegiatan mengajar belajar. Ketiga Bidang bimbingan (pembinaan pribadi siswa).
Bidang ini memberi pelayanan bimbingan kepada para siswa yaitu membantu
siswa mengambil manfaat semaksimal mungkin dari pendidikannya di sekolah.
Kegiatan pendidikan tersebut. Pendidikan yang baik dan ideal hendaknya
mencakup ketiga bidang kegiatan tersebut. Pendidikan yang hanya menjalankan
program kegiatan pengajaran dan administrasi saja tanpa memperhatikan siswa
secara pribadi, akan menghasilkan individu yang cakap dan sukses meraih cita-
cita, namun mereka kurang mampu memahami potensi dirinya dalam
bersosialisasi di masyarakat. Dalam situasi inilah adanya bimbingan konseling
akan terasa diperlukan sebagai suatu bentuk bantuan dan pelayanan sekolah
kepada pribadi siswa. Layanan bimbingan dan konseling memusatkan diri dalam
membantu siswa secara pribadi agar mereka mendapat kesempatan untuk
mengembangkan setiap kecakapan dan kemampuannya semaksimal mungkin.
Masa remaja adalah masa yang penuh dengan dinamika. Individu
mengalami perubahan dan perkembangan emosional, fisik, dan sosial yang cepat
dan berbeda-beda dari masa-masa sebelumnya. Hall (dalam Sarwono, 2000)
mendefinisikan masa remaja sebagai masa topan badai, dan strum and drang,
yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak. Tidak semua
remaja berhasil melampaui tahap ini dengan “biasa-biasa saja”. Lebih banyak dari
mereka menjalankannya dengan diwarnai berbagai masalah.
Kasus-kasus kenakalan remaja di Jakarta semakin memprihatinkan. Pada
tahun 1991 tercatat hanya 6 orang tewas. Pada tahun berikutnya angka tersebut
cenderung mengalami kenaikan yaitu menjadi 13 orang pada tahun 1992. Rata-
rata terjadi 15 buah perkelahian dalam satu bulan dengan jumlah korban tewas 13
orang dalam satu minggu. (Republika, 22 April 1996).
Ridwan, (1998) seorang ahli dalam bidang pendidikan menyebutkan salah
satu ciri masa remaja sebagai masa usia bermasalah. Masalah masa remaja sering
menjadi masalah yang sulit untuk diatasi, oleh laki-laki atau perempuan. Remaja
cenderung mengembangkan kebiasaan yang makin mempersulit keadaannya,
sementera ia sendiri tidak pecaya pada bantuan pihak lain. Jadi, di satu sisi remaja
sebenarnya belum sepenuhnya mampu untuk menyelesaikan masalah sendiri,
namun di sisi lain ia cenderung menolak bantuan orang tua dan guru karena
merasa ingin mandiri. Bila kondisi ini tidak dipahami oleh orang tua dan guru,
remaja dapat terjerumus pada penyelesaian masalah yang kurang dapat
dipertanggung jawabkan. Fakta menunjukkan bahwa seorang siswa remaja
menghabiskan 6 sampai dengan 7 jam waktunya di sekolah, atau sekitar 27,08%
dari seluruh waktu efektifnya (Republika, 22 April 1996).
Perhitungan waktu ini bahkan bisa lebih besar bila sepulang sekolah siswa
masih mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Jadi, sekolah sebagai lembaga
pendidikan, sebenarnya merupakan lembaga alternatif yang baik bagi remaja
dalam membantu menyelesaikan masalahnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hadi Suprapto (dalam Kompas, 22
Februari 1994) menemukan adanya hubungan antara kuat lemahnya keterikatan
remaja pada lembaga pendidikan (sekolah, guru, dan segala aktivitas yang
berlangsung di dalamnya), dengan kenakalan remaja. Semakin lemah keterikatan
remaja dengan lembaga pendidikan sebagai sarana kontrol sosial, semakin tinggi
tingkat kenakalan yang dilakukan remaja tersebut. Melalui Lembaga Bimbingan
dan Konseling yang dimilikinya, sekolah diharapkan dapat membantu
mengembangkan siswa menjadi pribadi yang matang dan bertanggung jawab.
Layanan bimbingan dan konseling merupakan salah satu bentuk kegiatan
pendidikan. Dikatakan demikian, sebab melalui layanan bimbingan dan konseling
siswa dituntut untuk mampu menjadi manusia yang paripurna. Dalam arti mampu
mewujudkan diri sendiri sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan
harapan keluarga dan masyarakat pada umumnya. Untuk mencapai tujuan itu,
tentunya peranan konselor sebagai kunci dari keberhasilan siswa sangat
dibutuhkan. Oleh kerena itu seorang konselor dituntut untuk mampu menampilkan
sebagai seorang yang profesional. Dengan begitu konselor akan mampu
membawa diri dan siswanya kepada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Djumhur dan Surya (1975), menambahkan dalam upaya meningkatkan sumber
daya manusia, sektor pendidikan memegang peranan yang sangat penting, karena
kualitas sumber daya manusia tersebut sangat ditentukan oleh mutu dan kualitas
pendidikannya.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia alaha membentuk manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha
Esa, berbudi pekerjti luhur, berkepribadian, menadiri, tangguh, cerdas, kreatif,
terampil, berdisiplin, beretos kerja, bertanggung jawab, profesional dan produktif,
serta sehat jasmani dan rohani. Dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia
diatas maka pada jalur pendidikan formal atau pendidikan sejak Sekolah Dasar
(SD) diberikan layanan bimbingan dan konseling yang bertujuan memberi
bantuan kepada siswa untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga
dapat menjadi manusia dewasa yang berkualitas.
Djumhur dan Surya (1975) menambahkan bahwa program bimbingan dan
konseling yang efektif menghendaki pelayanan seorang staf yang cakap dan
berwenang di samping guru biasa. Anggota staf yang dimaksud itu adalah guru
pembimbing (guru BP) atau konselor sekolah. Ia harus memiliki kualifikasi yang
memungkinkannya untuk melaksanakan tugas bimbingan dengan berhasil baik,
diantaranya: minat terhadap pekerjaannya dan berpribadi baik. Selain itu, konselor
juga harus memahami prinsip-prinsip yang mendasari bimbingan individu, serta
hubungannya dengan keselarasan program pendidikan, kemampuan bertindak
memahami anak-anak, kemampuan mendengarkan dan mendapatkan bahan-bahan
informasi dari murid dan orang tua serta pengetahuan yang memadai mengenai
teori-teori perkembangan jiwa.
Eksistensi profesi Bimbingan dan Konseling (BK), khususnya di
Indonesia, memasuki abad 21 ini masih menghadapi masalah dan tantangan
tersendiri. Baik berkaitan dengan keorganisasian, eksistensi layanan profesi
maupuan kualitas SDM nya. Masalah dan tantangan yang terkait dengan
eksistensi dan posisi profesi membawa implikasi kepada kualifikasi dan spektrum
sumber daya manusia (SDM) Bimbingan dan Konseling. (Suara Merdeka Selasa,
22 April 2003).
Mengingat pentingnya peran serta fungsi Bimbingan dan Konseling bagi
siswa rejama di sekolah, maka diharapkan siswa memanfaatkan Bimbingan dan
Konseling sekolah untuk membantu menyelesaikan masalahnya. Diharapkan
motivasi berkonsultasi siswa pada petugas atau guru Bimbingan dan Konseling
tinggi. Namun, kenyataannya tidak seideal yang dibayangkan.
Sekarang ini, Bimbingan dan Konseling di sekolah justru menjadi tempat
yang cenderung dijauhi oleh sebagian besar siswa. Guru Bimbingan dan
Konseling sering dianggap sebagai polisi sekolah yang harus menjaga tata tertib
dan disiplin sekolah. Anggapan tersebut mengakibatkan siswa tidak mau datang
kepada guru Bimbingan dan Konseling. Siswa menganggap orang yang datang
kepada Bimbingan dan Konseling berarti lebih berbuat suatu kesalahan (Prayitno,
1987).
Afiatin dan Utami (1994), turut memperkuat fenomena keengganan siswa
untuk berkonsultasi pada guru Bimbingan dan Konseling. Melalui angket yang
disebar di beberapa sekolah di DIY, terungkap bahwa ternyata remaja lebih
memilih berdiskusi dengan teman dalam urutan pertama, sebagai salah satu
alternatif penyelesaian masalah. Guru hanya menempati urutan ke-4 setelah
alternatif menyelesaikan masalah melalui berkonsultasi dengan orang tua pada
urutan ke-3, dan mencari sumber informasi di media massa pada urutan ke-2.
dalam hal usaha untuk mengatasi masalah disekolah, guru Bimbingan dan
Konseling yang menempati urutan ke-5 setelah teman pada urutan ke-1.
Miadin, (1995) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara persepsi
tentang konselor dan sikap terhadap layanan Bimbingan dan Konseling dengan
kesediaan berkonsultasi pada siswa SMA 12 Yogyakarta tahun pelajaran
1995/1996, menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan siswa kurang
memanfaatkan layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah adalah: a) Siswa
tidak mengetahui fungsi dan tugas guru Bimbingan dan Konseling. b) Siswa
keliru menafsirkan tugas dan atau peran guru Bimbingan dan Konseling. c) Siswa
kurang percaya kepada konselor dalam soal-soal yang bersifat pribadi sehingga
tidak tersedia untuk mengemukakan masalah-masalah yang sedang dihadapinya.
d) Siswa memiliki anggapan negatif kepada siswa yang datang menghadap kepada
konselor sekolah.
Antara kenyataan dan harapan yang tidak sebanding dengan tujuan adanya
layanan Bimbingan dan Konseling kemudian menimbulkan permasalahan
penelitian, yaitu mengapa motivasi berkonsultasi siswa pada guru Bimbingan dan
Konseling siswa di sekolah rendah?
Motivasi seseorang untuk melakukan suatu perilaku atau dalam hal ini
berkonsultasi kepada guru Bimbingan dan Konseling dipengaruhi oleh banyak
hal. Djarwani (dalam Kartono, 1985) mengemukakan bahwa kelancaran proses
Bimbingan dan Konseling di sekolah terhambat antara lain disebabkan oleh
adanya kekeliruan pengertian anak tentang bimbingan. Ada beranggapan bahwa
seorang pembimbing di SMP nya dulu bergaya intel, yang tugasnya memanggil,
lalu memarahi, menghukum, dan mengancam, serta anak itu bersikap masa bodoh
terhadap bimbingan dan merasa tidak butuh. Bila dicermati, maka faktor
penghambat tersebut sesungguhnya terkait dengan persepsi, dalam hal ini
bagaimana siswa mempersepsi seorang petugas atau guru Bimbingan dan
Konseling?.
Berdasarkan urian yang telah dikemukakan, penulis mengasumsikan
bahwa persepsi siswa terhadap guru Bimbingan dan Konseling atau konselor atau
lebih sepesifik lagi karakterisitik guru Bimbingan dan Konseling mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap motivasi siswa untuk berkonsultasi pada
guru atau lembaga Bimbingan dan Konseling sekolah. Penuis kemudian
mengambil persepsi siswa terhadap karakteristik guru Bimbingan dan Konseling
sebagai variabel bebas penelitian ini dan motivasi berkonsultasi atau berkonseling
sebagai variabel tergantung. Dengan alasan selain kemampuan akademik konselor
kepribadian atau karakteristik guru Bimbingan dan Konseling memegang peranan
penting dalam meningkatkan motivasi berkonsultasi dan salah satu kunci yang
menentukan keberhasilan proses konseling. Oleh karena itu, judul penelitian yang
diajukan adalah “Hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru
Bimbingan dan Konseling dengan motivasi berkonsultasi”.
Sepengetahuan peneliti, penelitian tentang Bimbingan dan Konseling di
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta pernah dilakukan oleh
Cahyani (2002) yaitu tentang hubungan antara persepsi siswa terhadap peran guru
Bimbingan dan Konseling dengan minat berkonsultasi berdasarkan status sekolah.
Penelitian serupa pernah juga dilakukan oleh Miadin (1995) tantang hubungan
antara persepsi tentang konselor dan sikap terhadap layanan Bimbingan dan
Konseling dengan kesediaan berkonsultasi pada siswa SMA 12 Yogyakarta tahun
pelajaran 1995/1995”. Walau serupa tetapi penelitan ini tetap berada dalam
beberapa hal :
a. Dari kedua judul diatas dengan penelitian ini jelas berbeda.
b. Dari latar belakang masalah yang diajukan oleh Cahyani (2002)
menekankan pada peran, hubungan guru bimbingan dan konseling dengan siswa,
penelitian yang dilakukan Maidin (1995) melihat latar belakang pendidikan
sedangkan penelitian ini melihat latar balakang masalah dari sisi pendidikan dan
pengajaran, yang memang peneliti latar belakang pendidikan sedangkan penelitian
ini melihat latar belakang masalah dari sisi psikologis siswa dan bagaimana siswa
menilai karakteristik atau kepribadian guru bimbingan dan konseling atau
konselor sekolah.
c. Populasi yang digunakan oleh Cahyani (2002) semua kelas 2 (dua) dari
SMU Negari 3 Ponorogo dan SMU PGRI Ponorogo dan Maidin (1995) siswa
SMA 12 Yogyakarta kelas 1,2 dan 3 yang bermasalah dan diduga bermasalah
sedangkan dalam penelitian ini populasinya adalah siswa kelas 2 yang diambil
secara random.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara persepsi siswa
terhadap karakteristik guru Bimbingan dan Konseling dengan motivasi
berkonsultasi pada siswa dan siswi SMP Negeri 2 kelas II Jatisari Karawang Jawa
Barat.
C. Manfaat Penelitian
1. Bagi pengembangan pengetahuan, dapat memberikan wacana tentang
hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru Bimbingan dan
Konseling dengan motivasi berkonsultasi.
2. Dapat menambah khasanah ilmu psikologi terutama dalam bidang psikologi
pendidikan, khususnya Bimbingan dan Konseling di sekolah menengah pertama.
3. Untuk para guru Bimbingan dan Konseling agar memperhatikan atau
menjaga sikap dan perilaku yang sesuai dengan karakteristik guru Bimbingan dan
Konseling atau sebagai konselor sekolah.
4. Untuk siswa diharapkan dapat memberi penilaian yang positif kepada guru
Bimbingan dan Konseling karena layanan bimbingan dan konseling dapat
meringankan atau membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa.
5. Untuk kepala sekolah diharapkan dapat menjadi informasi guna merangsang
untuk menciptakan suasana layanan Bimbingan dan Konseling sebaik-baiknya
dan meningkatkan kemampuan guru Bimbingan dan Konseling.
PENDAHULUAN
A. Perumusan Masalah
Proses belajar di sekolah bertujuan membantu siswa bertumbuh dan
berkembang secara optimal dalam berbagai aspek kepribadian, sehingga menjadi
manusia dewasa yang mandiri di tengah masyarakat. Untuk mencapai
perkembangan optimal, maka ruang lingkup proses pendidikan harus meliputi tiga
bidang kegiatan, yaitu: pertama, Bidang Administratif dan Kepemimpinan.
Bidang kegiatan ini menyangkut masalah administratif dan kepemimpinan yaitu
masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan pendidikan secara
efisien.
Pemimpin sekolah mengatur penyelenggaraan sekolah dalam segala
aspeknya. Pada umumnya bidang ini merupakan tanggung jawab kepala sekolah
bersama para petugas administratif lainnya. Kedua, Bidang Pengajaran dan
Kurikuler. Bidang ini bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pengajaran
yang bertujuan memberi pengetahuan, keterampilan dan sikap pada siswa. Pada
umumnya bidang ini merupakan tugas dan tanggung jawab guru dalam proses
kegiatan mengajar belajar. Ketiga Bidang bimbingan (pembinaan pribadi siswa).
Bidang ini memberi pelayanan bimbingan kepada para siswa yaitu membantu
siswa mengambil manfaat semaksimal mungkin dari pendidikannya di sekolah.
Kegiatan pendidikan tersebut. Pendidikan yang baik dan ideal hendaknya
mencakup ketiga bidang kegiatan tersebut. Pendidikan yang hanya menjalankan
program kegiatan pengajaran dan administrasi saja tanpa memperhatikan siswa
secara pribadi, akan menghasilkan individu yang cakap dan sukses meraih cita-
cita, namun mereka kurang mampu memahami potensi dirinya dalam
bersosialisasi di masyarakat. Dalam situasi inilah adanya bimbingan konseling
akan terasa diperlukan sebagai suatu bentuk bantuan dan pelayanan sekolah
kepada pribadi siswa. Layanan bimbingan dan konseling memusatkan diri dalam
membantu siswa secara pribadi agar mereka mendapat kesempatan untuk
mengembangkan setiap kecakapan dan kemampuannya semaksimal mungkin.
Masa remaja adalah masa yang penuh dengan dinamika. Individu
mengalami perubahan dan perkembangan emosional, fisik, dan sosial yang cepat
dan berbeda-beda dari masa-masa sebelumnya. Hall (dalam Sarwono, 2000)
mendefinisikan masa remaja sebagai masa topan badai, dan strum and drang,
yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak. Tidak semua
remaja berhasil melampaui tahap ini dengan “biasa-biasa saja”. Lebih banyak dari
mereka menjalankannya dengan diwarnai berbagai masalah.
Kasus-kasus kenakalan remaja di Jakarta semakin memprihatinkan. Pada
tahun 1991 tercatat hanya 6 orang tewas. Pada tahun berikutnya angka tersebut
cenderung mengalami kenaikan yaitu menjadi 13 orang pada tahun 1992. Rata-
rata terjadi 15 buah perkelahian dalam satu bulan dengan jumlah korban tewas 13
orang dalam satu minggu. (Republika, 22 April 1996).
Ridwan, (1998) seorang ahli dalam bidang pendidikan menyebutkan salah
satu ciri masa remaja sebagai masa usia bermasalah. Masalah masa remaja sering
menjadi masalah yang sulit untuk diatasi, oleh laki-laki atau perempuan. Remaja
cenderung mengembangkan kebiasaan yang makin mempersulit keadaannya,
sementera ia sendiri tidak pecaya pada bantuan pihak lain. Jadi, di satu sisi remaja
sebenarnya belum sepenuhnya mampu untuk menyelesaikan masalah sendiri,
namun di sisi lain ia cenderung menolak bantuan orang tua dan guru karena
merasa ingin mandiri. Bila kondisi ini tidak dipahami oleh orang tua dan guru,
remaja dapat terjerumus pada penyelesaian masalah yang kurang dapat
dipertanggung jawabkan. Fakta menunjukkan bahwa seorang siswa remaja
menghabiskan 6 sampai dengan 7 jam waktunya di sekolah, atau sekitar 27,08%
dari seluruh waktu efektifnya (Republika, 22 April 1996).
Perhitungan waktu ini bahkan bisa lebih besar bila sepulang sekolah siswa
masih mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Jadi, sekolah sebagai lembaga
pendidikan, sebenarnya merupakan lembaga alternatif yang baik bagi remaja
dalam membantu menyelesaikan masalahnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hadi Suprapto (dalam Kompas, 22
Februari 1994) menemukan adanya hubungan antara kuat lemahnya keterikatan
remaja pada lembaga pendidikan (sekolah, guru, dan segala aktivitas yang
berlangsung di dalamnya), dengan kenakalan remaja. Semakin lemah keterikatan
remaja dengan lembaga pendidikan sebagai sarana kontrol sosial, semakin tinggi
tingkat kenakalan yang dilakukan remaja tersebut. Melalui Lembaga Bimbingan
dan Konseling yang dimilikinya, sekolah diharapkan dapat membantu
mengembangkan siswa menjadi pribadi yang matang dan bertanggung jawab.
Layanan bimbingan dan konseling merupakan salah satu bentuk kegiatan
pendidikan. Dikatakan demikian, sebab melalui layanan bimbingan dan konseling
siswa dituntut untuk mampu menjadi manusia yang paripurna. Dalam arti mampu
mewujudkan diri sendiri sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan
harapan keluarga dan masyarakat pada umumnya. Untuk mencapai tujuan itu,
tentunya peranan konselor sebagai kunci dari keberhasilan siswa sangat
dibutuhkan. Oleh kerena itu seorang konselor dituntut untuk mampu menampilkan
sebagai seorang yang profesional. Dengan begitu konselor akan mampu
membawa diri dan siswanya kepada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Djumhur dan Surya (1975), menambahkan dalam upaya meningkatkan sumber
daya manusia, sektor pendidikan memegang peranan yang sangat penting, karena
kualitas sumber daya manusia tersebut sangat ditentukan oleh mutu dan kualitas
pendidikannya.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia alaha membentuk manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha
Esa, berbudi pekerjti luhur, berkepribadian, menadiri, tangguh, cerdas, kreatif,
terampil, berdisiplin, beretos kerja, bertanggung jawab, profesional dan produktif,
serta sehat jasmani dan rohani. Dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia
diatas maka pada jalur pendidikan formal atau pendidikan sejak Sekolah Dasar
(SD) diberikan layanan bimbingan dan konseling yang bertujuan memberi
bantuan kepada siswa untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga
dapat menjadi manusia dewasa yang berkualitas.
Djumhur dan Surya (1975) menambahkan bahwa program bimbingan dan
konseling yang efektif menghendaki pelayanan seorang staf yang cakap dan
berwenang di samping guru biasa. Anggota staf yang dimaksud itu adalah guru
pembimbing (guru BP) atau konselor sekolah. Ia harus memiliki kualifikasi yang
memungkinkannya untuk melaksanakan tugas bimbingan dengan berhasil baik,
diantaranya: minat terhadap pekerjaannya dan berpribadi baik. Selain itu, konselor
juga harus memahami prinsip-prinsip yang mendasari bimbingan individu, serta
hubungannya dengan keselarasan program pendidikan, kemampuan bertindak
memahami anak-anak, kemampuan mendengarkan dan mendapatkan bahan-bahan
informasi dari murid dan orang tua serta pengetahuan yang memadai mengenai
teori-teori perkembangan jiwa.
Eksistensi profesi Bimbingan dan Konseling (BK), khususnya di
Indonesia, memasuki abad 21 ini masih menghadapi masalah dan tantangan
tersendiri. Baik berkaitan dengan keorganisasian, eksistensi layanan profesi
maupuan kualitas SDM nya. Masalah dan tantangan yang terkait dengan
eksistensi dan posisi profesi membawa implikasi kepada kualifikasi dan spektrum
sumber daya manusia (SDM) Bimbingan dan Konseling. (Suara Merdeka Selasa,
22 April 2003).
Mengingat pentingnya peran serta fungsi Bimbingan dan Konseling bagi
siswa rejama di sekolah, maka diharapkan siswa memanfaatkan Bimbingan dan
Konseling sekolah untuk membantu menyelesaikan masalahnya. Diharapkan
motivasi berkonsultasi siswa pada petugas atau guru Bimbingan dan Konseling
tinggi. Namun, kenyataannya tidak seideal yang dibayangkan.
Sekarang ini, Bimbingan dan Konseling di sekolah justru menjadi tempat
yang cenderung dijauhi oleh sebagian besar siswa. Guru Bimbingan dan
Konseling sering dianggap sebagai polisi sekolah yang harus menjaga tata tertib
dan disiplin sekolah. Anggapan tersebut mengakibatkan siswa tidak mau datang
kepada guru Bimbingan dan Konseling. Siswa menganggap orang yang datang
kepada Bimbingan dan Konseling berarti lebih berbuat suatu kesalahan (Prayitno,
1987).
Afiatin dan Utami (1994), turut memperkuat fenomena keengganan siswa
untuk berkonsultasi pada guru Bimbingan dan Konseling. Melalui angket yang
disebar di beberapa sekolah di DIY, terungkap bahwa ternyata remaja lebih
memilih berdiskusi dengan teman dalam urutan pertama, sebagai salah satu
alternatif penyelesaian masalah. Guru hanya menempati urutan ke-4 setelah
alternatif menyelesaikan masalah melalui berkonsultasi dengan orang tua pada
urutan ke-3, dan mencari sumber informasi di media massa pada urutan ke-2.
dalam hal usaha untuk mengatasi masalah disekolah, guru Bimbingan dan
Konseling yang menempati urutan ke-5 setelah teman pada urutan ke-1.
Miadin, (1995) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara persepsi
tentang konselor dan sikap terhadap layanan Bimbingan dan Konseling dengan
kesediaan berkonsultasi pada siswa SMA 12 Yogyakarta tahun pelajaran
1995/1996, menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan siswa kurang
memanfaatkan layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah adalah: a) Siswa
tidak mengetahui fungsi dan tugas guru Bimbingan dan Konseling. b) Siswa
keliru menafsirkan tugas dan atau peran guru Bimbingan dan Konseling. c) Siswa
kurang percaya kepada konselor dalam soal-soal yang bersifat pribadi sehingga
tidak tersedia untuk mengemukakan masalah-masalah yang sedang dihadapinya.
d) Siswa memiliki anggapan negatif kepada siswa yang datang menghadap kepada
konselor sekolah.
Antara kenyataan dan harapan yang tidak sebanding dengan tujuan adanya
layanan Bimbingan dan Konseling kemudian menimbulkan permasalahan
penelitian, yaitu mengapa motivasi berkonsultasi siswa pada guru Bimbingan dan
Konseling siswa di sekolah rendah?
Motivasi seseorang untuk melakukan suatu perilaku atau dalam hal ini
berkonsultasi kepada guru Bimbingan dan Konseling dipengaruhi oleh banyak
hal. Djarwani (dalam Kartono, 1985) mengemukakan bahwa kelancaran proses
Bimbingan dan Konseling di sekolah terhambat antara lain disebabkan oleh
adanya kekeliruan pengertian anak tentang bimbingan. Ada beranggapan bahwa
seorang pembimbing di SMP nya dulu bergaya intel, yang tugasnya memanggil,
lalu memarahi, menghukum, dan mengancam, serta anak itu bersikap masa bodoh
terhadap bimbingan dan merasa tidak butuh. Bila dicermati, maka faktor
penghambat tersebut sesungguhnya terkait dengan persepsi, dalam hal ini
bagaimana siswa mempersepsi seorang petugas atau guru Bimbingan dan
Konseling?.
Berdasarkan urian yang telah dikemukakan, penulis mengasumsikan
bahwa persepsi siswa terhadap guru Bimbingan dan Konseling atau konselor atau
lebih sepesifik lagi karakterisitik guru Bimbingan dan Konseling mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap motivasi siswa untuk berkonsultasi pada
guru atau lembaga Bimbingan dan Konseling sekolah. Penuis kemudian
mengambil persepsi siswa terhadap karakteristik guru Bimbingan dan Konseling
sebagai variabel bebas penelitian ini dan motivasi berkonsultasi atau berkonseling
sebagai variabel tergantung. Dengan alasan selain kemampuan akademik konselor
kepribadian atau karakteristik guru Bimbingan dan Konseling memegang peranan
penting dalam meningkatkan motivasi berkonsultasi dan salah satu kunci yang
menentukan keberhasilan proses konseling. Oleh karena itu, judul penelitian yang
diajukan adalah “Hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru
Bimbingan dan Konseling dengan motivasi berkonsultasi”.
Sepengetahuan peneliti, penelitian tentang Bimbingan dan Konseling di
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta pernah dilakukan oleh
Cahyani (2002) yaitu tentang hubungan antara persepsi siswa terhadap peran guru
Bimbingan dan Konseling dengan minat berkonsultasi berdasarkan status sekolah.
Penelitian serupa pernah juga dilakukan oleh Miadin (1995) tantang hubungan
antara persepsi tentang konselor dan sikap terhadap layanan Bimbingan dan
Konseling dengan kesediaan berkonsultasi pada siswa SMA 12 Yogyakarta tahun
pelajaran 1995/1995”. Walau serupa tetapi penelitan ini tetap berada dalam
beberapa hal :
a. Dari kedua judul diatas dengan penelitian ini jelas berbeda.
b. Dari latar belakang masalah yang diajukan oleh Cahyani (2002)
menekankan pada peran, hubungan guru bimbingan dan konseling dengan siswa,
penelitian yang dilakukan Maidin (1995) melihat latar belakang pendidikan
sedangkan penelitian ini melihat latar balakang masalah dari sisi pendidikan dan
pengajaran, yang memang peneliti latar belakang pendidikan sedangkan penelitian
ini melihat latar belakang masalah dari sisi psikologis siswa dan bagaimana siswa
menilai karakteristik atau kepribadian guru bimbingan dan konseling atau
konselor sekolah.
c. Populasi yang digunakan oleh Cahyani (2002) semua kelas 2 (dua) dari
SMU Negari 3 Ponorogo dan SMU PGRI Ponorogo dan Maidin (1995) siswa
SMA 12 Yogyakarta kelas 1,2 dan 3 yang bermasalah dan diduga bermasalah
sedangkan dalam penelitian ini populasinya adalah siswa kelas 2 yang diambil
secara random.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara persepsi siswa
terhadap karakteristik guru Bimbingan dan Konseling dengan motivasi
berkonsultasi pada siswa dan siswi SMP Negeri 2 kelas II Jatisari Karawang Jawa
Barat.
C. Manfaat Penelitian
1. Bagi pengembangan pengetahuan, dapat memberikan wacana tentang
hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru Bimbingan dan
Konseling dengan motivasi berkonsultasi.
2. Dapat menambah khasanah ilmu psikologi terutama dalam bidang psikologi
pendidikan, khususnya Bimbingan dan Konseling di sekolah menengah pertama.
3. Untuk para guru Bimbingan dan Konseling agar memperhatikan atau
menjaga sikap dan perilaku yang sesuai dengan karakteristik guru Bimbingan dan
Konseling atau sebagai konselor sekolah.
4. Untuk siswa diharapkan dapat memberi penilaian yang positif kepada guru
Bimbingan dan Konseling karena layanan bimbingan dan konseling dapat
meringankan atau membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa.
5. Untuk kepala sekolah diharapkan dapat menjadi informasi guna merangsang
untuk menciptakan suasana layanan Bimbingan dan Konseling sebaik-baiknya
dan meningkatkan kemampuan guru Bimbingan dan Konseling.