Isikan Kata Kunci Untuk Memudahkan Pencarian

Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan Dan Konseling Dengan Motivasi Berkonsultasi

BAB I

PENDAHULUAN



A. Perumusan Masalah

Proses belajar di sekolah bertujuan membantu siswa bertumbuh dan

berkembang secara optimal dalam berbagai aspek kepribadian, sehingga menjadi

manusia dewasa yang mandiri di tengah masyarakat. Untuk mencapai

perkembangan optimal, maka ruang lingkup proses pendidikan harus meliputi tiga

bidang kegiatan, yaitu: pertama, Bidang Administratif dan Kepemimpinan.

Bidang kegiatan ini menyangkut masalah administratif dan kepemimpinan yaitu

masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan pendidikan secara

efisien.

Pemimpin sekolah mengatur penyelenggaraan sekolah dalam segala

aspeknya. Pada umumnya bidang ini merupakan tanggung jawab kepala sekolah

bersama para petugas administratif lainnya. Kedua, Bidang Pengajaran dan

Kurikuler. Bidang ini bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pengajaran

yang bertujuan memberi pengetahuan, keterampilan dan sikap pada siswa. Pada

umumnya bidang ini merupakan tugas dan tanggung jawab guru dalam proses

kegiatan mengajar belajar. Ketiga Bidang bimbingan (pembinaan pribadi siswa).

Bidang ini memberi pelayanan bimbingan kepada para siswa yaitu membantu

siswa mengambil manfaat semaksimal mungkin dari pendidikannya di sekolah.

Kegiatan pendidikan tersebut. Pendidikan yang baik dan ideal hendaknya

mencakup ketiga bidang kegiatan tersebut. Pendidikan yang hanya menjalankan

program kegiatan pengajaran dan administrasi saja tanpa memperhatikan siswa

secara pribadi, akan menghasilkan individu yang cakap dan sukses meraih cita-

cita, namun mereka kurang mampu memahami potensi dirinya dalam

bersosialisasi di masyarakat. Dalam situasi inilah adanya bimbingan konseling

akan terasa diperlukan sebagai suatu bentuk bantuan dan pelayanan sekolah

kepada pribadi siswa. Layanan bimbingan dan konseling memusatkan diri dalam

membantu siswa secara pribadi agar mereka mendapat kesempatan untuk

mengembangkan setiap kecakapan dan kemampuannya semaksimal mungkin.

Masa remaja adalah masa yang penuh dengan dinamika. Individu

mengalami perubahan dan perkembangan emosional, fisik, dan sosial yang cepat

dan berbeda-beda dari masa-masa sebelumnya. Hall (dalam Sarwono, 2000)

mendefinisikan masa remaja sebagai masa topan badai, dan strum and drang,

yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak. Tidak semua

remaja berhasil melampaui tahap ini dengan “biasa-biasa saja”. Lebih banyak dari

mereka menjalankannya dengan diwarnai berbagai masalah.

Kasus-kasus kenakalan remaja di Jakarta semakin memprihatinkan. Pada

tahun 1991 tercatat hanya 6 orang tewas. Pada tahun berikutnya angka tersebut

cenderung mengalami kenaikan yaitu menjadi 13 orang pada tahun 1992. Rata-

rata terjadi 15 buah perkelahian dalam satu bulan dengan jumlah korban tewas 13

orang dalam satu minggu. (Republika, 22 April 1996).

Ridwan, (1998) seorang ahli dalam bidang pendidikan menyebutkan salah

satu ciri masa remaja sebagai masa usia bermasalah. Masalah masa remaja sering

menjadi masalah yang sulit untuk diatasi, oleh laki-laki atau perempuan. Remaja

cenderung mengembangkan kebiasaan yang makin mempersulit keadaannya,

sementera ia sendiri tidak pecaya pada bantuan pihak lain. Jadi, di satu sisi remaja

sebenarnya belum sepenuhnya mampu untuk menyelesaikan masalah sendiri,

namun di sisi lain ia cenderung menolak bantuan orang tua dan guru karena

merasa ingin mandiri. Bila kondisi ini tidak dipahami oleh orang tua dan guru,

remaja dapat terjerumus pada penyelesaian masalah yang kurang dapat

dipertanggung jawabkan. Fakta menunjukkan bahwa seorang siswa remaja

menghabiskan 6 sampai dengan 7 jam waktunya di sekolah, atau sekitar 27,08%

dari seluruh waktu efektifnya (Republika, 22 April 1996).

Perhitungan waktu ini bahkan bisa lebih besar bila sepulang sekolah siswa

masih mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Jadi, sekolah sebagai lembaga

pendidikan, sebenarnya merupakan lembaga alternatif yang baik bagi remaja

dalam membantu menyelesaikan masalahnya.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hadi Suprapto (dalam Kompas, 22

Februari 1994) menemukan adanya hubungan antara kuat lemahnya keterikatan

remaja pada lembaga pendidikan (sekolah, guru, dan segala aktivitas yang

berlangsung di dalamnya), dengan kenakalan remaja. Semakin lemah keterikatan

remaja dengan lembaga pendidikan sebagai sarana kontrol sosial, semakin tinggi

tingkat kenakalan yang dilakukan remaja tersebut. Melalui Lembaga Bimbingan

dan Konseling yang dimilikinya, sekolah diharapkan dapat membantu

mengembangkan siswa menjadi pribadi yang matang dan bertanggung jawab.

Layanan bimbingan dan konseling merupakan salah satu bentuk kegiatan

pendidikan. Dikatakan demikian, sebab melalui layanan bimbingan dan konseling

siswa dituntut untuk mampu menjadi manusia yang paripurna. Dalam arti mampu

mewujudkan diri sendiri sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan

harapan keluarga dan masyarakat pada umumnya. Untuk mencapai tujuan itu,

tentunya peranan konselor sebagai kunci dari keberhasilan siswa sangat

dibutuhkan. Oleh kerena itu seorang konselor dituntut untuk mampu menampilkan

sebagai seorang yang profesional. Dengan begitu konselor akan mampu

membawa diri dan siswanya kepada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Djumhur dan Surya (1975), menambahkan dalam upaya meningkatkan sumber

daya manusia, sektor pendidikan memegang peranan yang sangat penting, karena

kualitas sumber daya manusia tersebut sangat ditentukan oleh mutu dan kualitas

pendidikannya.

Peningkatan kualitas sumber daya manusia alaha membentuk manusia

seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha

Esa, berbudi pekerjti luhur, berkepribadian, menadiri, tangguh, cerdas, kreatif,

terampil, berdisiplin, beretos kerja, bertanggung jawab, profesional dan produktif,

serta sehat jasmani dan rohani. Dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia

diatas maka pada jalur pendidikan formal atau pendidikan sejak Sekolah Dasar

(SD) diberikan layanan bimbingan dan konseling yang bertujuan memberi

bantuan kepada siswa untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga

dapat menjadi manusia dewasa yang berkualitas.

Djumhur dan Surya (1975) menambahkan bahwa program bimbingan dan

konseling yang efektif menghendaki pelayanan seorang staf yang cakap dan

berwenang di samping guru biasa. Anggota staf yang dimaksud itu adalah guru

pembimbing (guru BP) atau konselor sekolah. Ia harus memiliki kualifikasi yang

memungkinkannya untuk melaksanakan tugas bimbingan dengan berhasil baik,

diantaranya: minat terhadap pekerjaannya dan berpribadi baik. Selain itu, konselor

juga harus memahami prinsip-prinsip yang mendasari bimbingan individu, serta

hubungannya dengan keselarasan program pendidikan, kemampuan bertindak

memahami anak-anak, kemampuan mendengarkan dan mendapatkan bahan-bahan

informasi dari murid dan orang tua serta pengetahuan yang memadai mengenai

teori-teori perkembangan jiwa.

Eksistensi profesi Bimbingan dan Konseling (BK), khususnya di

Indonesia, memasuki abad 21 ini masih menghadapi masalah dan tantangan

tersendiri. Baik berkaitan dengan keorganisasian, eksistensi layanan profesi

maupuan kualitas SDM nya. Masalah dan tantangan yang terkait dengan

eksistensi dan posisi profesi membawa implikasi kepada kualifikasi dan spektrum

sumber daya manusia (SDM) Bimbingan dan Konseling. (Suara Merdeka Selasa,

22 April 2003).

Mengingat pentingnya peran serta fungsi Bimbingan dan Konseling bagi

siswa rejama di sekolah, maka diharapkan siswa memanfaatkan Bimbingan dan

Konseling sekolah untuk membantu menyelesaikan masalahnya. Diharapkan

motivasi berkonsultasi siswa pada petugas atau guru Bimbingan dan Konseling

tinggi. Namun, kenyataannya tidak seideal yang dibayangkan.

Sekarang ini, Bimbingan dan Konseling di sekolah justru menjadi tempat

yang cenderung dijauhi oleh sebagian besar siswa. Guru Bimbingan dan

Konseling sering dianggap sebagai polisi sekolah yang harus menjaga tata tertib

dan disiplin sekolah. Anggapan tersebut mengakibatkan siswa tidak mau datang

kepada guru Bimbingan dan Konseling. Siswa menganggap orang yang datang

kepada Bimbingan dan Konseling berarti lebih berbuat suatu kesalahan (Prayitno,

1987).

Afiatin dan Utami (1994), turut memperkuat fenomena keengganan siswa

untuk berkonsultasi pada guru Bimbingan dan Konseling. Melalui angket yang

disebar di beberapa sekolah di DIY, terungkap bahwa ternyata remaja lebih

memilih berdiskusi dengan teman dalam urutan pertama, sebagai salah satu

alternatif penyelesaian masalah. Guru hanya menempati urutan ke-4 setelah

alternatif menyelesaikan masalah melalui berkonsultasi dengan orang tua pada

urutan ke-3, dan mencari sumber informasi di media massa pada urutan ke-2.

dalam hal usaha untuk mengatasi masalah disekolah, guru Bimbingan dan

Konseling yang menempati urutan ke-5 setelah teman pada urutan ke-1.

Miadin, (1995) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara persepsi

tentang konselor dan sikap terhadap layanan Bimbingan dan Konseling dengan

kesediaan berkonsultasi pada siswa SMA 12 Yogyakarta tahun pelajaran

1995/1996, menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan siswa kurang

memanfaatkan layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah adalah: a) Siswa

tidak mengetahui fungsi dan tugas guru Bimbingan dan Konseling. b) Siswa

keliru menafsirkan tugas dan atau peran guru Bimbingan dan Konseling. c) Siswa

kurang percaya kepada konselor dalam soal-soal yang bersifat pribadi sehingga

tidak tersedia untuk mengemukakan masalah-masalah yang sedang dihadapinya.

d) Siswa memiliki anggapan negatif kepada siswa yang datang menghadap kepada

konselor sekolah.

Antara kenyataan dan harapan yang tidak sebanding dengan tujuan adanya

layanan Bimbingan dan Konseling kemudian menimbulkan permasalahan

penelitian, yaitu mengapa motivasi berkonsultasi siswa pada guru Bimbingan dan

Konseling siswa di sekolah rendah?

Motivasi seseorang untuk melakukan suatu perilaku atau dalam hal ini

berkonsultasi kepada guru Bimbingan dan Konseling dipengaruhi oleh banyak

hal. Djarwani (dalam Kartono, 1985) mengemukakan bahwa kelancaran proses

Bimbingan dan Konseling di sekolah terhambat antara lain disebabkan oleh

adanya kekeliruan pengertian anak tentang bimbingan. Ada beranggapan bahwa

seorang pembimbing di SMP nya dulu bergaya intel, yang tugasnya memanggil,

lalu memarahi, menghukum, dan mengancam, serta anak itu bersikap masa bodoh

terhadap bimbingan dan merasa tidak butuh. Bila dicermati, maka faktor

penghambat tersebut sesungguhnya terkait dengan persepsi, dalam hal ini

bagaimana siswa mempersepsi seorang petugas atau guru Bimbingan dan

Konseling?.

Berdasarkan urian yang telah dikemukakan, penulis mengasumsikan

bahwa persepsi siswa terhadap guru Bimbingan dan Konseling atau konselor atau

lebih sepesifik lagi karakterisitik guru Bimbingan dan Konseling mempunyai

pengaruh yang cukup besar terhadap motivasi siswa untuk berkonsultasi pada

guru atau lembaga Bimbingan dan Konseling sekolah. Penuis kemudian

mengambil persepsi siswa terhadap karakteristik guru Bimbingan dan Konseling

sebagai variabel bebas penelitian ini dan motivasi berkonsultasi atau berkonseling

sebagai variabel tergantung. Dengan alasan selain kemampuan akademik konselor

kepribadian atau karakteristik guru Bimbingan dan Konseling memegang peranan

penting dalam meningkatkan motivasi berkonsultasi dan salah satu kunci yang

menentukan keberhasilan proses konseling. Oleh karena itu, judul penelitian yang

diajukan adalah “Hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru

Bimbingan dan Konseling dengan motivasi berkonsultasi”.

Sepengetahuan peneliti, penelitian tentang Bimbingan dan Konseling di

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta pernah dilakukan oleh

Cahyani (2002) yaitu tentang hubungan antara persepsi siswa terhadap peran guru

Bimbingan dan Konseling dengan minat berkonsultasi berdasarkan status sekolah.

Penelitian serupa pernah juga dilakukan oleh Miadin (1995) tantang hubungan

antara persepsi tentang konselor dan sikap terhadap layanan Bimbingan dan

Konseling dengan kesediaan berkonsultasi pada siswa SMA 12 Yogyakarta tahun

pelajaran 1995/1995”. Walau serupa tetapi penelitan ini tetap berada dalam

beberapa hal :

a. Dari kedua judul diatas dengan penelitian ini jelas berbeda.

b. Dari latar belakang masalah yang diajukan oleh Cahyani (2002)

menekankan pada peran, hubungan guru bimbingan dan konseling dengan siswa,

penelitian yang dilakukan Maidin (1995) melihat latar belakang pendidikan

sedangkan penelitian ini melihat latar balakang masalah dari sisi pendidikan dan

pengajaran, yang memang peneliti latar belakang pendidikan sedangkan penelitian

ini melihat latar belakang masalah dari sisi psikologis siswa dan bagaimana siswa

menilai karakteristik atau kepribadian guru bimbingan dan konseling atau

konselor sekolah.

c. Populasi yang digunakan oleh Cahyani (2002) semua kelas 2 (dua) dari

SMU Negari 3 Ponorogo dan SMU PGRI Ponorogo dan Maidin (1995) siswa

SMA 12 Yogyakarta kelas 1,2 dan 3 yang bermasalah dan diduga bermasalah

sedangkan dalam penelitian ini populasinya adalah siswa kelas 2 yang diambil

secara random.



B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara persepsi siswa

terhadap karakteristik guru Bimbingan dan Konseling dengan motivasi

berkonsultasi pada siswa dan siswi SMP Negeri 2 kelas II Jatisari Karawang Jawa

Barat.



C. Manfaat Penelitian

1. Bagi pengembangan pengetahuan, dapat memberikan wacana tentang

hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru Bimbingan dan

Konseling dengan motivasi berkonsultasi.

2. Dapat menambah khasanah ilmu psikologi terutama dalam bidang psikologi

pendidikan, khususnya Bimbingan dan Konseling di sekolah menengah pertama.

3. Untuk para guru Bimbingan dan Konseling agar memperhatikan atau

menjaga sikap dan perilaku yang sesuai dengan karakteristik guru Bimbingan dan

Konseling atau sebagai konselor sekolah.

4. Untuk siswa diharapkan dapat memberi penilaian yang positif kepada guru

Bimbingan dan Konseling karena layanan bimbingan dan konseling dapat

meringankan atau membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa.

5. Untuk kepala sekolah diharapkan dapat menjadi informasi guna merangsang

untuk menciptakan suasana layanan Bimbingan dan Konseling sebaik-baiknya

dan meningkatkan kemampuan guru Bimbingan dan Konseling.
File Selengkapnya.....

Teman KoleksiSkripsi.com

Label

Administrasi Administrasi Negara Administrasi Niaga-Bisnis Administrasi Publik Agama Islam Akhwal Syahsiah Akuntansi Akuntansi-Auditing-Pasar Modal-Keuangan Bahasa Arab Bahasa dan Sastra Inggris Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Bimbingan Konseling Bimbingan Penyuluhan Islam Biologi Dakwah Ekonomi Ekonomi Akuntansi Ekonomi Dan Studi pembangunan Ekonomi Manajemen Farmasi Filsafat Fisika Fisipol Free Download Skripsi Hukum Hukum Perdata Hukum Pidana Hukum Tata Negara Ilmu Hukum Ilmu Komputer Ilmu Komunikasi IPS Kebidanan Kedokteran Kedokteran - Ilmu Keperawatan - Farmasi - Kesehatan – Gigi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Keperawatan Keperawatan dan Kesehatan Kesehatan Masyarakat Kimia Komputer Akuntansi Manajemen SDM Matematika MIPA Muamalah Olahraga Pendidikan Agama Isalam (PAI) Pendidikan Bahasa Arab Pendidikan Bahasa Indonesia Pendidikan Bahasa Inggris Pendidikan Biologi Pendidikan Ekonomi Pendidikan Fisika Pendidikan Geografi Pendidikan Kimia Pendidikan Matematika Pendidikan Olah Raga Pengembangan Masyarakat Pengembangan SDM Perbandingan Agama Perbandingan Hukum Perhotelan Perpajakan Perpustakaan Pertambangan Pertanian Peternakan PGMI PGSD PPKn Psikologi PTK PTK - Pendidikan Agama Islam Sastra dan Kebudayaan Sejarah Sejarah Islam Sistem Informasi Skripsi Lainnya Sosiologi Statistika Syari'ah Tafsir Hadist Tarbiyah Tata Boga Tata Busana Teknik Arsitektur Teknik Elektro Teknik Industri Teknik Industri-mesin-elektro-Sipil-Arsitektur Teknik Informatika Teknik Komputer Teknik Lingkungan Teknik Mesin Teknik Sipil Teknologi informasi-ilmu komputer-Sistem Informasi Tesis Farmasi Tesis Kedokteran Tips Skripsi