BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia perbankan khususnya perbankan syariah memegang peran penting dalam memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ini dapat dilihat dari penurunan laju pertumbuhan perbankan syariah yang menandakan salah satu penyebab terjadinya perlambatan ekonomi pada tahun 2013, dimana pada tahun 2013 mengalami pertumbuhan hanya 24,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya 34,0% (yoy).1 Bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dan merupakan bagian dari sistem moneter mempunyai kedudukan strategis sebagai penunjang pembangunan ekonomi.
Hal ini berkaitan erat dengan fungsi penting perbankan sebagai lembaga intermediasi. Dimana bank berfungsi untuk menghimpun dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana dan menyalurannya kepada pihak yang kekurangan dana. Bank dianggap berhasil dalam melaksanakan fungsinya dalam intermediasi apabila bank tersebut dapat mengelola besarnya proporsi dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk pembiayaan dimana bank tersebut tetap memperhatihan aspek resiko agar resiko pembiayaan tidak menyebabkan resiko gagal bayar yang dapat memperbesar peluang suatu bank
dalam kondisi bermasalah (kebangkrutan).Namun pada tahun 2013 terlihat bahwa FDR BUS masih tercatat sebesar 95,9% pada akhir periode laporan yang mencerminkan FDR perbankan syariah tetap relatif tinggi. Sedangkan data terkini pada tahun 2014 bulan Desember memperlihatkan bahwa FDR BUS tercatat menurun menjadi
86,66%.
Rasio pembiayaan terhadap pendanaan (Financing to Deposit Ratio/FDR) perbankan syariah dinilai akan efektif untuk mendukung perolehan imbal hasil tinggi jika berada pada kisaran 95%-98%. Hal itu berarti berarti dari 100% dana yang terkumpul dari masyarakat, sebanyak 95%-98% diantaranya disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Riyanto, Direktur Utama PT. Bank Syariah Bukopin (BSB), mengatakan kisaran angka tersebut sangat efektif untuk memberikan imbal hasil yang kompetitif. Sebab, margin yang dihasilkan dari pembiayaan kepada nasabah cenderung lebih tinggi dibandingkan jika dana ditempatkan pada instrumen lain seperti fasilitas simpanan Bank Indonesia dan sukuk.2
Perkembangan tingkat FDR BUS yang ada di Indonesia dapat kita lihat
dari grafik di bawah ini:
Dilihat dari grafik di atas FDR BUS mengalami penurunan dari tahun
2012 ke tahun 2014 dari 120,65% menjadi 86,66%. Penurunan ini menunjukkan pula bahwa bank syariah tidak bisa memaksimalkan dalam melakukan pembiayaan ke masyarakat ataupun ke sektor riil.3 Hal ini juga menunjukkan bahwa bank syariah tidak bisa mengefektifkan dana yang dihimpunnya. Rendahnya tingkat FDR BUS ini dapat pula memperlihatkan bahwa dana pihak ketiga (DPK) yang semakin banyak yang tidak diimbangi dengan besarnya pembiayaan akan menurunkan tingkat FDR perbankan
syariah.4
Padahal Bank Indonesia (BI) tidak menetapkan batas atas rasio pembiayaan terhadap DPK atau FDR perbankan syariah, terkait harmonisasi aturan GWM-LDR di perbankan konvensional. Bank Sentral tetap berupaya mendorong pertumbuhan perbankan syariah. Tidak adanya pembatasan atau penurunan dari tingkat FDR perbankan syariah dikarenakan perbankan syariah masih perlu untuk terus bertumbuh pesat.5
FDR secara pemahaman hampir sama dengan konsep LDR dimana
keduanya sama-sama berfungsi untuk mengukur tingkat likuiditas perbankan dan juga melihat rasio dari jumlah dana yang disalurkan atau total pembiayaan dengan rasio jumlah dana yang diterima atau Dana Pihak Ketiga (DPK) ditambah modal sendiri, hanya saja FDR tidak menganut sistem bunga dalam menyalurkan dana ataupun pembiayaannya. Pengelolaan likuiditas merupakan suatu fungsi yang terpenting yang dilakukan oleh perbankan syariah khususnya karena dapat menggambarkan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi berjalan dengan baik atau tidak dan juga berkaitan erat dengan tingkat profitabilitas perbankan syariah itu sendiri.6
Pencapaian keberhasilan fungsi intermediasi bank yang terlihat melalui
LDR yang pemahamannya hampir sama dengan FDR dapat disebabkan oleh berbagai hal penting dalam bank. Pertama, kecukupan modal bank atau sering disebut dengan capital adequacy ratio. Kedua, kemampuan intermediasi perbankan dapat dinilai melalui ukuran bank yang tercermin melalui total aktiva bank tersebut. Ketiga, pada dasarnya bisnis bank yang membentuk aktiva produktif dapat memberi income bagi bank. Keempat, aktivitas bisnis bank tidak terlepas dari biaya operasional.7
Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas dan mengingat pentingnya
mengetahui faktor penentu FDR perbankan syariah dalam mewujudkan persaingan yang kompeten dengan perbankan konvensional dan mendukung pertumbuhan perbankan syariah yang lebih pesat lagi serta masih sedikitnya penelitian di bidang perbankan syariah khususnya FDR, maka pada kesempatan kali ini penulis tertarik membahas tentang “PENGARUH KAP, CAR, SIZE, DAN NOM TERHADAP FINANCING TO DEPOSIT RATIO (FDR) PADA BANK UMUM SYARIAH DI INDONESIA PERIODE 2012-
2016.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana tingkat Financing to Deposit Ratio (FDR) perbankan syariah di Indonesia?