BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbankan Syariah di Indonesia semakin berkembang seiring dengan berkembangnya pertumbuhan penduduk yang berpenduduk mayoritas beragama Islam. Perbankan Syariah menjadi alternatif sistem Perbankan yang memiliki berbagai macam produk dan pelayanan yang beragam akan siklus operasionalnya serta memiliki kemampuan menghasilkan profit menjadi indikator penting untuk keberlanjutan entitas bisnis dan untuk mengukur kemampuan bersaing dalam jangka panjang.
Bank Syariah merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai fungsi dan tujuan penting dalam perekonomian. Fungsi dan tujuan Bank Umum Syariah meliputi kemakmuran ekonomi yang meluas, penyerapan tenaga kerja dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimal, keadilan sosial ekonomi, distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, stabilitas nilai uang, mobilitas dan investasi tabungan yang menjamin adanya pengembalian yang adil dan pelayanan yang efektif. Bank umum Syariah menjadikan Indonesia negara yang menganut dua sistem perbankkan yaitu Perbankan konvensional dan Perbankan Syariah (Idroes,2011)
Menurut Muhamad (2014) bank pada umumnya dan bank Syariah pada khususnya adalah lembaga yang didirikan dengan orientasi laba. Untuk mendirikan lembaga demikian ini perlu didukung dengan aspek
permodalan yang kuat. Kekuatan aspek permodalan ini memungkinkan terbangunnya kondisi bank yang dipercaya oleh masyarakat. Sebagaimana diketahui bersama, bank adalah lembaga kepercayaan. Sehubungan dengan persoalan kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut, maka manajemen bank harus menggunakan semua perangkat operasionalnya untuk mampu menjaga kepercayaan masyarakat itu.
Salah satu perangkat yang sangat strategis dalam menopang kepercayaan itu adalah perkembangan dan kemajuan bank sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat. Setiap penciptaan aktiva, disamping berpotensi menghasilkan keuntungan juga berpotensi menimbulkan terjadinya risiko. Oleh karena itu modal juga harus dapat digunakan untukmenjaga kemungkinan terjadinya risiko kerugian atas investasi pada aktiva, terutama yang berasal dari dana-dana pihak ketiga atau masyarakat. Peningkatan peran aktiva sebagai penghasil keuntungan harus secara simultan dibarengi dengan pertimbangan risiko yang mungkin timbul guna melindungi kepentingan para pemilik dana (Muhamad, 2014).
Menurut Idroes (2011) permodalan bagi bank sebagaimana perusahaan pada umumnya selain berfungsi sebagai sumber utama pembiayaan terhadap kegiatan operasionalnya juga berperan sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian. Selain itu, modal juga berfungsi untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Sebagai salah satu aspek yang paling mendasar dalam pelaksanaan prinsip kehati-hatian, bank harus memenuhi kecukupan permodalan. Hal ini menjadi fokus utama dari seluruh pengawasan bank di seluruh dunia. Modal yang dimiliki suatu bank pada dasarnya harus cukup untuk menutupi seluruh risiko usaha yang dihadapi bank.
Berbagai masalah pernah terjadi mengenai tingkat kecukupan modal di berbagai negara, sepeti krisis moneter yang dimulai pada pertengahan tahun 1997. Pada saat itu nilai tukar mata uang rupiah
terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat, menyebabkan sebagian besar perusahaan tidak mampu membayar pinjaman kepada bank. Akibatnya Perbankan juga menghadapi risiko tidak mampu membayar kewajibannya yang sebagian besar dibiayai oleh pinjaman luar negeri dan dana masyarakat. Besarnya cadangan kredit dan kerugian sebagai dampak selisih nilai tukar mengakibatkan menurunnya modal Perbankan sehingga sebagian besar bank tidak mampu lagi untuk memenuhi kewajibannya terhadap kecukupan modal. Pada akhirnya akan menurunkan kinerja Perbankan yang dapat diidentifikasikan dalam bentuk analisa laporan ke- uangan dengan menggunakan rasio-rasio keuangan seperti rasio likuiditas, rasio solvabilitas, rasio rentabilitas dan rasio keuangan lainnya Banyak faktor yang dapat mempengarui tingkat kecukupan modal pada Perbankan yang salah satu nya adalah kualitas aset. Menurut Muljono (1995) dalam Hendra (2006) penilaian kualitas aset merupakan penilaian terhadap kondisi aset bank dan kecukupan manajemen risiko kredit. Kelangsungan usaha bank tergantung pada kesiapan untuk menghadapi risiko kerugian dari penanaman dana. Penilaian kualitas aset mencerminkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya.
Menurut Ita Akmal (2013) fungsi Perbankan Syariah sebagai lembaga intermediary antara masyarakat yang kelebihan modal dengan masyarakat yang kekurangan modal telah berjalan dengan baik. Tentu, untuk dapat menjalankan fungsinya tersebut dibutuhkan kondisi Perbankan yang sehat. Kondisi Perbankan yang sehat mampu menjaga kepercayaan masyarakat dan investor terhadap kinerja Perbankan itu sendiri. Pada Kasus Bank Century pada tahun 2008, terdapat banyak penyelewengan yang menjadikan kondisi bank itu sendiri tidak cukup sehat. Penyelewengan tersebut berupa tingkat minimum CAR atau kecukupan modal, batas maksimal pemberian kredit, FPJP (Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek). Akibatnya, ketika penabung-penabung dalam negeri mencairkan tabungan rupiahnya (rush) untuk membeli dollar yang
saat itu nilainya menguat, Bank Century gagal memenuhi kewajibannya di transaksi kliring. Bank Century mengalami kesulitan likuiditas dan kehilangan kepercayaan nasabahnya. Bahkan, Bank Indonesia melalui data per 31 Oktober 2008 mengumumkan bahwa rasio kecukupan modal atau CAR Bank Century minus hingga 3,52%. Diputuskan, dana yang dibutuhkan guna menambah kebutuhan modal untuk menaikkan CAR menjadi 8 persen adalah sebesar Rp 632 miliar. Ketentuan kecukupan